text
stringlengths 132
2.01k
| tags
stringlengths 4
209
| label
stringclasses 111
values |
---|---|---|
Kesejahteraan Satwa di Indonesia Masih Rendah, Apa yang Harus Dilakukan? | Bahkan katanya, di pasar perdagangan ilegal ada satwa yang dipotong sayapnya, dipotong giginya dan lainnya, lalu ketika dipelihara mereka tidak sadar bahwa itu adalah satwa liar yang mempunyai kebutuhan khusus.Misalnya, burung butuh tempat bertengger, tidak hanya sangkar. Atau, satwa nokturnal yang harusnya tidur siang hari diajak bermain, juga diberi makanan sesuai standar manusia. Ketidakpahaman ini sering menyebabkan terjadinya penyiksaan.Pada beberapa kasus, banyak satwa dijadikan bahan hiburan atau konten media sosial, terutama orang yang punya pengaruh besar lalu dipertontonkan ke followers [pengikutnya]. Hal ini menciptakan tren di media sosial dan membuat orang lain menjadi Fomo [Fear of missing out] atau takut merasa tertinggal sehingga ikut-ikutan.Kondisi ini menciptakan terjadinya siklus satwa diburu, diperdagangkan, karena ada pasarnya, bernilai ekonomi dan pada akhirnya dieksploitasi.“Padahal tanpa harus diburu, mereka sudah terancam dengan habitatnya yang terganggu oleh berbagai aktivitas manusia,” ungkap Purba.Seperti diketahui, secara global perdagangan satwa liar berada diurutan kedua setelah narkotika, disusul perdagangan senjata dan emas. Di Indonesia, nilai perdagangan satwa liar pada 2008-2017 sekitar 7,8 miliar hingga 19 miliar US Dollar pertahun. Kerugian negara yang benar-benar bisa dihitung bisa mencapai Rp9 triliun pertahun, belum termasuk kerusakan ekologi, ekosistem, serta hilangnya keragaman hayati dan spesies tertentu.Baca: Meski Dilindungi, Hewan Berdarah Biru Ini Masih Diburu Langkah yang harus dilakukan | ['penelitian' 'pertanian' 'politik' 'hewan terancam punah'] | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
Kesejahteraan Satwa di Indonesia Masih Rendah, Apa yang Harus Dilakukan? | Etheldreda E L T Wongkar, peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law [ICEL], yang juga menjadi pembicara Bincang Alam, mengatakan dari perspektif hukum merujuk UU Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, sudah definisikan keadaan fisik dan juga mental hewan. Namun, undang-undang tersebut belum memiliki indikator atau ukuran jelas serta sanksi tegas terkait pelanggaran kesejahteraan hewan.Ini disebabkan norma yang abstrak. Misalnya, yang membatasi lingkup penerapan kesejahteraan hewan, untuk semua jenis hewan bertulang belakang dan sebagian dari hewan yang tidak bertulang belakang, yang dapat merasakan sakit.Dari sini, katanya, kesejahteraan hewan bersifat dikotomis, tidak holistik. Artinya, di Indonesia konsep tentang kesejahteraan hewan tidak berlaku universal, tapi selektif sesuai mana yang dibutuhkan dan bermanfaat buat manusia.“Di level internasional juga belum ada rujukan. Tapi kita bisa merujuk pada World Animal Protection, yang telah memberikan indeks perlindungan hewan melalui skoring dan menilai sejauh apa negara memperhatikan kesejahteraan hewan,” ungkap Chenny, panggilannya.Berdasarkan indeks penilaian World Animal Protection, terdapat empat nilai kesejahteraan satwa. Pertama, pengakuan bahwa satwa memiliki perasaan dan emosi serta pelarangan adanya penderitaan. Kedua, terbentuk dan terlaksananya undang-undang yang mengatur kesejahteraan satwa.Ketiga, adanya lembaga pemerintahan yang berkomitmen melindungi satwa. Keempat, adanya dukungan pemerintah terhadap standar kesejahteraan satwa secara internasional yang terintegrasi dalam undang-undang atau kebijakan pemerintah. | ['masyarakat desa' 'pendanaan' 'penelitian' 'perusahaan'
'hewan terancam punah' 'tambang' 'trivia'] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
Kesejahteraan Satwa di Indonesia Masih Rendah, Apa yang Harus Dilakukan? | Dari keempat penilaian tersebut, Indonesia hanya bisa memenuhi nilai pertama yang merujuk UU Nomor 18 tahun 2009, namun tidak ada mekanisme penegakan yang konkrit. Sementara nilai kedua, ketiga, dan keempat; Indonesia masih kurang sehingga secara garis besar negara kita memiliki rapor merah karena minimnya komitmen dan dukungan pemerintah terhadap kesejahteraan hewan.Baca juga: Umbut Rotan yang Enak Dimakan Solusinya, baik Etheldreda maupun Nur Purba Priambada, sepakat bahwa rekomendasi yang perlu dilakukan adalah perlunya “peremajaan” atau “update” undang-undang yang disesuaikan dengan kondisi kekinian.Ini dikarenakan, dari sisi penegakan hukum UU Nomor 5 Tahun 1990 banyak ketinggalan, meski secara teori bagus. Termasuk, celah memelihara satwa liar masih diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu, misalnya melalui hasil penangkaran dan sebagainya.“Kalau dilihat dari kebijakan yang ada, sanksi yang ditetapkan berorientasi pada tujuan memaksimalkan konservasi tercapai dan perdagangan hewan berjalan lancar. Selain itu, perlindungannya masih fokus pada spesies tertentu yang langka dan ditentukan oleh manusia,” ujar Chenny.Menurutnya, sanksi adminsitratif berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan, pencabutan perizinan perlu dievaluasi lagi. Karena perlu efek jera, maka dari kacamata hukum perlu di-update lagi mana yang bisa dipidanakan dan yang cukup administratif.“Perlu pemahaman bersama tentang apa yang dimaksud kesejahteraan satwa, sehingga terjadi pergeseran dan perubahan paradigma,” ungkapnya. [SEP] | ['masyarakat desa' 'konflik' 'hewan terancam punah' 'trivia'] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
Pameran Foto dan Karikatur Kabut Asap: Kami Rindu Langit Biru | [CLS] Kabut asap kebakaran lahan dan hutan yang menyelimuti langit Riau sejak dua bulan terakhir ini, telah menyebabkan banyak masyarakat yang menderita. Kabut asap juga telah menyebabkan polusi udara terburuk yang membuat ancaman kesehatan bagi ribuan anak-anak usia dini dan warga masyarakat lainnya dengan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA).Belum kerugian ekonomi dan pergerakan sosial akibat ditundanya berbagai jadwal penerbangan dan berbagai aktivitas warga lainnya. Kabut asap tidak hanya sekali ini saja terjadi tetapi telah menjadi “bencana rutin” yang menghampiri dalam 17 tahun terakhir ini.Berusaha untuk mengedukasi berbagai kalangan masyarakat, sekelompok komunitas anak muda yang tergabung dalam aksi keprihatinan “Kami Rindu Langit Biru” menggagas pameran foto, tulisan dan karikatur yang ditujukan untuk menggugah kesadaran masyarakat, pemerintah dan berbagai kalangan untuk peduli dengan kondisi lingkungan hidup di Riau.“Kami ingin menyampaikan bahwa alam yang terbentang memberikan segala kelebihannya, saat ia menuju binasa maka saat itu kita menuju kehilangan segalanya. Bahkan oksigen yang awalnya kita anggap biasa dan selalu kita dapatkan, saat itu menjadi lebih dari permata, dan itu menyangkut nyawa. Kita berharap atas acara ini, semua masyarakat Riau semakin sadar pentingnya menjaga alam,” ujar Enje salah satu penggagas sekaligus ketua panitia acara ini.“Kami bicara lewat dunia fotografi, foto yang kami buat adalah salah satu cara menyampaikan pesan kepada masyarakat tanpa harus banyak mengeluarkan kata, namun langsung menunjukkan “kondisi real” sehingga mereka tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi,” demikian Domiyanto, salah seorang fotografer yang terlibat dalam acara ini menyebutkan alasan mengapa media foto yang dipilihnya | ['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'penelitian' 'perusahaan'
'hewan terancam punah' 'trivia'] | [0.016374895349144936, 0.019575536251068115, 0.9640495181083679] |
Pameran Foto dan Karikatur Kabut Asap: Kami Rindu Langit Biru | Acara ini sendiri akan dilakukan selama 9 hari dari tanggal 4-12 April 2014 bertempat di Atrium Rokan Mall SKA, Pekanbaru. Warga masyarakat yang tertarik untuk berpartisipasi menampilkan karya-karyanya, dipersilakan untuk langsung mengontak kepada panitia, tanpa dipungut bayaran. Demikian pula, masyarakat yang peduli juga dapat memberikan kontribusinya kepada panitia.Warga dapat mengirimkan foto dari kamera profesional maupun kamera poket atau HP, dengan ukuran minimal 4R. Untuk karikatur ataupun tulisan dapat dikirimkan lewat cetakan 10R atau print ukuran A4.Panitia “Kami Rindu Langit Biru” dapat dikontak di email ini: kesahasap[at]gmail.com [SEP] | ['masyarakat desa' 'pendanaan' 'hewan terancam punah' 'trivia'] | [4.426556643011281e-06, 7.228185495478101e-06, 0.9999883770942688] |
Merancang Bentuk Kota-kota Masa Depan Dunia. Seperti Apa? | [CLS] Diperkirakan, tahun 2050, tiga perempat dari populasi manusia dunia akan menjadi penghuni lingkungan perkotaan. Urbanisasi yang cepat memang memiliki manfaat ekonomi, tapi jika kita mempertimbangkan bahwa kota-kota tersebut menggunakan 80% dari seluruh energi yang ada, dan bila sejumlah kota tersebut adalah penghasil terbesar dari gas rumah kaca dunia, maka kita harus memiliki visi pembangunan kota masa depan.Tulisan berjudul What Will the Cities of Tomorrow Look Like? di Niume.com ini menuturkan bahwa konsep kota masa depan bukanlah hal yang baru. Pengertian awal dari istilah itu dapat ditelusuri kembali ke zaman kuno. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan proyeksi imajinatif ideal tentang bagaimana rupa sebuah kota, terlepas dari analisis mendalam di masa itu. Dalam beberapa dekade terakhir, istilah tersebut lebih sering digunakan sebagai tanggapan terhadap isu-isu urbanisasi yang cepat dan global.Kota masa depan sebagai sebuah konsep telah digunakan oleh berbagai kelompok untuk menandai hal berbeda, terutama direvitalisasi untuk memperkenalkan gagasan perubahan positif dan penyesuaian-penyesuaian kesalahan konsep masa lalu.Kota-kota saat ini menghadapi tantangan yang lebih serius dibanding satu abad lalu. Di era sekarang, kota-kota perlu mengakomodasi lebih banyak orang karena pertumbuhan penduduk yang makin cepat, tren migrasi, dan meningkatnya mobilitas manusia. Sementara, pada saat yang sama kota-kota juga harus memberikan jaminan sosial, stabilitas dan kualitas hidup yang baik bagi semua. Dari sini muncul isu-isu lingkungan dan menjadi salah satu tantangan paling penting di kota-kota dunia saat ini.Kota Berkelanjutan, Cerdas, dan Tangguh | ['konflik' 'perusahaan' 'sawit'] | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
Merancang Bentuk Kota-kota Masa Depan Dunia. Seperti Apa? | Pendekatan holistik akan ide kota masa depan telah menjadi wacana bidang arsitektur dan diskusi publik luas. Kota, kini dianggap sebagai sistem atau jaringan entitas dengan dinamika sendiri dan sifat yang merespon lingkungan sekitar. Karena 80% dari emisi karbon berasal dari kota-kota, maka mengatasi masalah tersebut bisa dimulai dari kota.Mirip dengan kota ide masa depan, ada beberapa istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan rencana yang diusulkan untuk perubahan. Di antara yang paling populer tentu adalah kota yang sustainable, yang berfokus pada minimalisasi dampak lingkungan dan konsumsi energi yang minimum. Di sisi lain, kota cerdas atau Smart City, mengacu pada ide-ide dari sistem IT yang canggih dan penggunaan teknologi digital yang memberikan ruang konektivitas yang lebih baik, serta pelayanan publik yang responsif.Ide lain yang populer adalah salah satu kota tangguh mampu menahan guncangan lingkungan, ekonomi dan sosial. Semua ide-ide ini didasarkan pada pro-aktif sikap terhadap masa depan, menemukan cara terbaik untuk memperkenalkan langkah-langkah adaptif, dan koordinasi strategi pertumbuhan dengan perilaku ramah lingkungan. Ide populer lain adalah kota tangguh, kota yang yang mampu bertahan dari berbagai tantangan alam, ekonomi, dan sosial.Semua ide-ide tentang kota masa depan tersebut didasarkan pada semangat mencari cara terbaik untuk memperkenalkan langkah-langkah adaptif dan koordinasi startegi pertumbuhan dengan perilaku ramah lingkungan.Masdar City – Kota Zero – Karbon PertamaIde lain yang populer adalah kota ramah lingkungan yang punya tujuan akhir untuk mencapai zero-carbon dan menghilangkan semua limbah karbon. Mungkin contoh yang paling populer adalah Kota Masdar di Uni Emirat Arab. | ['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'konflik' 'lahan' 'penyelamatan lingkungan'
'pertanian' 'perusahaan' 'sawit'] | [0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606] |
Merancang Bentuk Kota-kota Masa Depan Dunia. Seperti Apa? | Masdar City adalah gagasan dari Masdar, sebuah perusahaan energi terbarukan, dan hampir sepenuhnya didanai oleh Pemerintah Abu Dhabi. Pembangunan kota benar-benar dimulai dari nol dan diharapkan selesai pada 2020 – 2025. Ide dari Masdar City adalah membangun model sustainable living, kota netral karbon, dan sepenuhnya didukung oleh energi hijau. Meskipun gagasan ini dipuji dan didukung oleh organisasi-organisasi lingkungan, sejauh ini Masdar City masih menjadi sebuah kota hantu. Namun, pembangunan Masdar City telah menginspirasi negara-negara lain untuk memperkenalkan eksperimen mereka yang serupa.China, negara penghasil karbon dioksida terbesar di dunia, juga mulai membangun kota mandiri yang ramah lingkungan. Tianjin, kota yang dibangun dari sebuah kawasan pembuangan limbah beracun, yang kini kota berteknologi tinggi, bebas emisi, adalah kota masa depan yang memukau. Namun, seperti juga proyek Masdar City di Abu Dhabi, Tianjin juga dikritik, dengan alasan bahwa lebih baik memperbaiki kota-kota yang sudah ada menjadi menjadi kota yang sustainable, ketimbang membangun kota-kota baru dari nol.Singapura adalah satu di antara yang terbaik dan paling inovatif sebagai contoh kota masa depan.Contoh kota sustainable Ketika kita berbicara tentang kota berkelanjutan, ada banyak contoh hebat dari seluruh dunia, di mana pemerintah bekerja sama dengan berbagai elemen telah berhasil memperkenalkan kebijakan jangka panjang ramah lingkungan. Misalnya, mengurangi emisi gas, mendorong penggunaan transportasi ramah lingkungan, dan menciptakan lebih banyak ruang hijau. Singapura mungkin adalah contoh terdepan bagaimana upaya-upaya yang terus dijalankan, kota ini dapat memecahkan berbagai masalah pencemaran berat setelah negara ini menjalankan industrialisasi. | ['Aparatur Sipil Negara' 'iklim/cuaca' 'konflik' 'lahan' 'pertanian'
'perusahaan' 'politik' 'sawit'] | [0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608] |
Merancang Bentuk Kota-kota Masa Depan Dunia. Seperti Apa? | Singapura sekarang merupakan kota terhijau di Asia. Negara ini mewajibkan seluruh bangunan baru menjadi green building, dan memasukkanya dalam undang-undang. Salah satu tantangan terbesar kota berkelanjutan yang harus dihadapi adalah bagaimana mengkoordinasikan pembangunan ekonomi dengan perlindungan lingkungan. Kota-kota lain yang berhasil melakukannya adalah Vancouver, Ibu Kota Skandinavia Stockholm, Oslo dan Helsinki, Curitiba di Brazil dan Freiburg, Jerman.Membawa alam Berbagai rencana membangun kota masa depan sangat bergantung pada kolaborasi antara kelompok-kelompok berbeda dan kepentingan atau prioritas berbeda pula. Kita telah melihat beberapa tahun terakhir, masyarakat lokal bekerja keras untuk menerapkan perubahan dengan menemukan cara-cara inovatif untuk membawa kembali alam ke perkotaan.Namun, tentu hal itu belum cukup. Kota-kota masa depan yang mengikuti ide-ide perubahan positif akan tergantung pada kolaborasi antara para arsitek, perencana kota, insinyur, bersama dengan ahli demografi, ekonom, politisi, investor, dan masyarakat. Isu lingkungan yang ada saat ini lebih berat dari sebelumnya, dan efek perubahan iklim sebagian besar mulai dirasakan di lingkungan perkotaan.Kesadaran lingkungan tidak cukup untuk memecahkan masalah. Cara kota diatur dan dialog terbuka antara pejabat dan spesialis akan memiliki dampak penting pada masa depan kota itu sendiri dan lingkungan global dalam jangka panjang. [SEP] | ['Aparatur Sipil Negara' 'konflik' 'lahan' 'sawit'] | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
Derita Petani Sawit Transmigran di Jambi yang Lahannya Berkonflik | [CLS] Sulaiman [40] bergegas menuju kebun sawitnya, sekitar dua kilometer dari rumahnya di Desa Mekar Sari, Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi.Temannya mengabarkan, ada alat berat yang menggali kebunnya.“Kebun sawit saya mau dibongkar,” ucapnya, Senin [31/10/2022].Galian itu membentuk parit yang tersambung ke kanal besar. Sejumlah pohon sawit yang buahnya baru dipanen sebanyak 200 kilogram itu roboh. Begitu juga beberapa pohon kecil yang baru ditanam, sebagai sisipan, rusak juga.“Padahal, hasil kebun ini yang membiayai sekolah anak-anak saya,” terangnya.Sulaiman meminta sang operator menghentikan kegiatan itu. Namun, seorang pengawas mendatanginya dan mengatakan bahwa lahan tersebut milik Junaidi.Sulaiman menjelaskan, kebunnya merupakan lahan usaha [LU 1] dari pemerintah yang diberikan untuk warga transmigran. Lahannya sudah bersertifikat.Namun, perobohan tetap dilakukan.“Saya hanya diam. Katanya, akan diberikan ganti rugi, tapi sampai sekarang tidak ada,” jelasnya.Hal yang sama dialami petani sawit Mekar Sari lain, Abdullah [70] dan Juhairiah [65], istrinya. Kebun mereka diserobot Junaidi, saat sawit mulai berbuah pasir.“Kebun ini harapan keluarga, bapak sekarang terbaring lumpuh,” terang Juhairiah, saat mendatangi pos pengaduan korban mafia tanah, yang dibangun warga bersama Walhi Jambi di RT 5 Desa Mekar Sari.Lahan LU 1 Juhairiah ditanami dengan sawit. Pada tahun 2010 lahan itu sudah diterbitkan sertifikat.“Sejak 2010, LU 1 kami sudah bersertifikat. Sekitar 150 batang sawit kami dirobohkan, diserobot cukung tanah,” terangnya.Di Mekar Sari, berdasarkan laporan posko pengaduan, Junaidi menguasai sekitar 308 hektar lahan milik 200 kk transmigran. Terdiri dari lahan usaha 1 seluas 108 hektar dan lahan usaha 2 seluas 200 hektar. | ['Aparatur Sipil Negara' 'bencana alam' 'masyarakat desa' 'konflik'
'lahan' 'perusahaan' 'sawit'] | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
Derita Petani Sawit Transmigran di Jambi yang Lahannya Berkonflik | Sementara di Desa Tebing Tinggi, dari 150 KK warga transmigran sebanyak 42 KK menjadi korban, dengan luas lahan yang dikuasai Junaidi seluas 78 hektar. Semua lahan sudah ditanami sawit, sebagian telah berbuah.Penyerobotan lahan juga terjadi di beberapa desa seperti di Rawamekar [150 KK], di Desa Padang Kelapo, dan Kembang Sri. Kehilangan penghasilanHilangnya lahan, membuat sejumlah warga kehilangan mata pencaharian. Siswanto, warga Tebing Tinggi terpaksa bekerja sebagai buruh tebas di perusahaan sawit. Sehari kerja upahnya Rp107.000. Tapi, tidak setiap hari dia kerja, karena usinya tidak muda lagi.“Ini terpaksa dilakukan. Bila mengandalakan sawit di rumah hanya ada 335 batang, paling hanya 200 kilogram. Tidak cukup untuk kebutuhan,”katanya.Sudah 12 tahun, konflik lahan berlangsung. Warga transmigran sudah mengadukan ke Pemerintah Provinsi Jambi, mendatangi Dinas Transmigrasi Provinsi Jambi, Kanwil ATR/BPN Provinsi Jambi, menghadap Gubernur, juga mengadu pada tim pansus penyelesian konflik lahan di DPRD Jambi. Hingga kini belum ada kepastian.Agustus 2022 lalu, perwakilan warga yang didampingi Walhi Jambi, mengadu ke Kementerian PDTT, ATR/BPN, hingga Kantor Staf Presiden.“Kami produk transmigrasi gagal. Kami hanya menuntut lahan negara yang diberikan kepada kami dikembalikan,” kata Sardi, warga Mekar Sari. Warga dipenjaraRahman [65], warga Kembang Sri menjadi korban akibat konflik ini. Tanahnya, seluas 2,5 hektar yang merupakan warisan orangtua, diserobot Junaidi untuk ditanam sawit. Berang melihat kejadian itu, dia merusak sawit tersebut.Akibat perbutannya, Rahman dilaporkan ke polisi dan harus “menginap” dua bulan sebagai tahanan. Putusan pengadilan menyatakan dia bersalah, harus menjalani hukuman pidana.Sebelum itu, Rahman melalui penasehat hukumnya Ramos Hutabarat yang juga mendampingi para korban penyerobotan lahan, mengatakan ada upaya damai yang ditawarkan Junaidi. | ['bencana alam' 'energi' 'konflik' 'lahan' 'pendanaan' 'perusahaan'
'sawit'] | [0.9999998211860657, 9.115430543715775e-08, 9.005590584365564e-08] |
Derita Petani Sawit Transmigran di Jambi yang Lahannya Berkonflik | “Syarat damai, Rahman harus menyerahkan tanahnya ke Junaidi. Klien kami jelas menolak, tanah itu jelas miliknya,” terang Ramos, Kamis [17/11/2021].Rahman melakukan perlawanan. Dia mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Batanghari. Upayanya membuahkan hasil. Pengadilan memenangkan gugatannya, menyatakan Rahman sebagai pemilik sah.Junaidi mengajukan banding, namun kalah. Hingga tingkat kasasi, Mahkama Agung memenangkan Rahman. Tak puas, Junaidi mengajukan Peninjauan Kembali [PK].“Kami melihat ada upaya kriminalisasi terhadap petani kecil seperti Pak Rahman yang menolak menyerahkan lahannya. Bahkan, Pak Rahman dituntut ganti rugi. Kami sangat menyayangkan kejadian ini,” ujar Ramos. Alex Sudirman, anggota tim penasehat hukum Junaidi, mengatakan ada kesalahan objek dalam perkata tersebut sehingga pihaknya melayangkan PK. Bahkan, pengajuan gugatan ganti rugi materil dua juta Rupiah dan in materil satu miliar Rupiah.“Pengrusakan tanaman sudah terbukti tindak pidananya di Pengadilan Negeri Muara Bulian. Kami menggugat ganti rugi,” kata Alex, mewakili kliennya.Disinggung kasus penyerobotan lahan milik petani di Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi, Alex mengatakan harus ada bukti kepemilikan sah melalui pengadikan.“Silakan buktikan di pengadilan jika merasa sebagai pemilik sah,” jelasnya singkat, dikonfirmasi Kamis siang [03/11/2022].Konfirmasi kepada Junaidi melalui telepon pribadinya, kami lakukan. Namun, tidak tersambung, hingga tulisan ini diterbitkan. Sikap tegas negaraDirektur Eksekutif Walhi Jambi Abdullah, menilai perlu adanya sikap tegas negara terhadap aksi para mafia tanah di Jambi.“Hari ini, tanah para transmigran yang diberikan negara diserobot mafia tanah. Kami sudah sampaikan ke Kementerian ATR/BPN hingga Kantor Staf Presiden. Jawabannya, pemerintah masih mendalami,” ujarnya, Jumat [23/09/2022] | ['konflik' 'perusahaan' 'sawit'] | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
Derita Petani Sawit Transmigran di Jambi yang Lahannya Berkonflik | Abdullah mengatakan, sengketa agraria petani kecil dengan mafia tanah maupun korporasi, tidak hanya terjadi di Kabupaten Batanghari. Di beberapa kabupaten juga belum ada titik terang.Menurut analisa Walhi Jambi, tidak ada masalah dengan dasar kepemilikan lahan para korban. Semua jelas, sesuai SK Penempatan disertai SK Pencadangan Tanah, peta LU 1 dan LU 2. Tidak ada tumpang tindih.Anehnya, kata Abdullah, tawaran dari pemerintah kabupaten adalah ganti rugi lahan dengan seekor sapi. Ini mengindikasikan, ada hal yang disembunyikan.“Sejarahnya jelas, ada tuan tanah yang mengambil kayu lebih dulu kemudian ingin memiliki lahan. Faktanya, itu lahan warga yang harus dikembalikan. Bila masalah ini tidak diselesaikan, akan kami arahkan ke ranah rukum dengan konsekuensi membongkar semua pihak yang terlibat,” tegasnya.Mengutip Antara tahun 2012, dengan judul “Ratusan Transmigran Tidak Dapat Lahan Garapan”, Nakir, Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Batanghari, saat itu mengatakan tidak ada lagi lahan di UPT Tebing Jaya. Semua lahan telah dikuasi warga dan perusahaan.Sesuai SK Pencadangan, alokasi lahan untuk transmigrasi di UPT Tebing Jaya seluas 5.500 hektar. “Tidak ada alokasi untuk 639 kepala keluarga transmigran dan tempatan.”Pemerintah Kabupaten Batanghari pernah memberikan tawaran ganti rugi lahan dengan satu ekor sapi. Namun, hal ini dianggap tidak sesuai dengan harapan masyarakat.“Sebagian warga menolak,” ujar Sardi. Perusahaan dibalik layar?Mansuetus Darto, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit [SPKS], mengatakan kasus konflik lahan antara petani dengan pemilik modal atau perusahaan masih tinggi. Tidak hanya di Jambi, tapi hampir seluruh wilayah Indonesia, meski kasus paling banyak di Sumatera.Selalu ada peran cukong dengan pemodal besar, dalam proses ini, walaupun lahan itu masuk tanah negara atau milik masyarakat. | ['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'konflik' 'perusahaan' 'sawit'] | [0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06] |
Derita Petani Sawit Transmigran di Jambi yang Lahannya Berkonflik | “Kemudian ditanami, dijadikan perkebunan agar tanah itu memiliki nilai ekonomi besar ketika mereka jual. Harganya tentu naik tiga sampai empat kali lipat,” jelasnya, Rabu [16/11/2022].Menurut Darto, ada pola penguasaan lahan dengan memanfaatkan cukong lokal. Tapi, dibalik itu semua ada perusahaan yang bermain.“Namun, untuk kasus petani di Mekar Sari perlu analisa,” lanjutnya.Dikatakan Darto, perdagangan minyak sawit ke pasar Eropa sudah diperketat. Tidak diizinkan menjual CPO yang diperoleh dari areal deforestasi, wilayah di taman nasional, atau lahan konflik. Aturan ini sudah disepakati perusahaan besar.Faktanya, masih ada perusahaan menolak pendekatan melacak sumber produk sawit yang di jual. “Ini menandakan, masih ada yang menampung minyak sawit dari lahan konflik.”Jika pemerintah ingin mewujudkan kemandirian petani sawit maka harus ada rencana besar. Jangan lagi ada perusahaan bekerja seperti petani, membangun lahan perkebunan, juga mengelola dan memanen sawit sendiri.Perusahaan fokus saja pada pengelolaan pabrik skala besar.“Kalau mau mandiri, setop saja HGU. Izin yang habis jangan diperpanjang. Kembalikan kepada masyarakat,” ujar Darto.Pemerintah juga harus lebih cepat merespon persoalan konflik pada petani.“Perlu ada tekanan dari pemerintah pusat ke daerah, untuk segera menyelesaikan sengketa lahan,” tegasnya. * Dedy Nurdin, jurnalis kilasjambi.com. Liputan ini merupakan program Journalist Fellowship yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak. [SEP] | ['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'iklim/cuaca' 'nelayan' 'politik'] | [0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06] |
Dorei Jaya, Kelompok Penjaga Cendrawasih dari Kampung Barawai | [CLS] PERBURUAN cendrawasih marak di Kampung Barawai, Distrik Yapen Timur, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua. Warga setempat tak tinggal diam. Mereka membentuk kelompok untuk menjaga burung surga ini tiap pagi dan sore hari.Marthen Mandenasi terpilih sebagai ketua. Kelompok ini dibentuk dengan nama Dorei Jaya, beranggotakan 15 orang. Dorei Jaya terbentuk sejak Februari 2012. Sebelum ini dibentuk, sudah ada kelompok lingkungan lain yang dikoordinir Marthen.Kelompok itu ada karena kekhawatiran atas cendrawasih di kawasan ini yang terus diburu. Pemerintah Yapen membiarkan perburuan terjadi. “Kalau tidak ada tindakan pencegahan, burung ini akan punah. Jadi, kami berusaha bentuk kelompok untuk jaga,” katanya kepada Mongabay, di Jayapura, Sabtu(20/10/2012).Pemburu, menembak mati burung menggunakan senapan angin. Cendrawasih mati, dibawa ke Kota Serui, lalu dijual secara ilegal. Warga yang biasa memburu cendrawasih dari Kampung Waindu dan Wadawas.Dorei Jaya, rutin bolak balik pagi sore berjalan kaki dari kampung ke beberapa pohon yang selalu dihinggapi cendrawasih. Jarak yang ditempuh dari kampung ke hutan cendrawasih sekitar lima kilo meter. “Sekitar 15 yang masuk kelompok ini komit jaga sekaligus lestarikan. Jadi, pagi dan sore jalan kaki ke lokasi cendrawasih sebelum aktivitas lain,” kata Yusak Reba, rekan Marthen.Sejak 2008, Dinas Pariwisata setempat membangun homestay di bawah beberapa pohon yang selalu didatangi cendrawasih. Kala itu, proyek pembangunan ditender CV.Armada Pasifik. Namun, sampai saat ini tak dialiri aliran listrik. Tiap malam gelap. Homestay itu dibiarkan ditumbuhi rerumputan tinggi. “Tidak ada lampu di homestay. Malam itu gelap. Jadi, masyarakat tidak bisa bermalam untuk jaga cendrawasih,” kata Yusak. Dinas Kehutanan juga membangun penginapan untuk menjaga cendrawasih. Namun, rumah itu tak dilengkapi fasilitasi listrik. Jadi, sampai saat ini tak berfungsi. | ['bencana alam' 'konflik' 'mangrove' 'politik'] | [0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608] |
Dorei Jaya, Kelompok Penjaga Cendrawasih dari Kampung Barawai | Hingga kini, Pemerintah Yapen, tak memfasilitasi kelompok ini. Warga membentuk kelompok dan bergerak menjaga dan melestrarikan cendrawasih atas insisiatif sendiri. Dari komitmen itu, cendrawasih yang hampir punah mulai bertambah. Saat ini, ada sekitar 60 cendrawasih. Kicauannya sudah terdengar tiap pagi seperti dulu.Sekretaris Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Yapen, Ana Bonay mengatakan, berupaya memberikan puluhan bibit pohon amponuai (beringin) yang menjadi tempat hinggapan cendrawasih. “Kami baru sumbang 10 pohon ke Barawai untuk ditanam. Fasilitas lain kami upayakan.” [SEP] | ['Aparatur Sipil Negara' 'budidaya' 'penelitian' 'politik'] | [0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606] |
Puluhan Warga Dekat Pembangkit Sorik Marapi Keracunan Lagi, Mengapa Terus Berulang? | [CLS] Suasana Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, tampak tenang sore 6 Maret lalu. Warga ada yang tengah duduk di lopo (warung kopi). Ada yang istirahat di rumah maupun berada di ladang mereka.Ketenangan desa itu mendadak menegangkan ketika terdengar jeritan dan tangisan dari sebuah rumah. Tak berapa lama dari tempat lain juga terjadi hal sama. Makin banyak keluar rumah muntah-muntah. Ada yang digotong keluar rumah. Suasana makin mencekam. Warga panik karena jumlah mereka yang kesakitan makin bertambah.“Gas H2S, gas hidrogen sulfida geothermal bocor ada racun terhirup semua harus menjauh., ” teriak beberapa pemuda.Apa saja yang bisa mereka bawa untuk evakuasi mulai dari sepeda motor, mobil bak terbuka dan lain-lain. Sekitar 15 menit satu ambulans datang membawa warga yang muntah muntah dan sakit kepala ke rumah sakit terdekat.Sampai Minggu malam berdasarkan data dari Kepala Desa Sibanggor Julu, 58 orang dirawat di rumah sakit. Sebanyak 36 orang dirawat di RSUD Panyabungan, 22 orang di RS Permata Madina. Dari para korban itu, 12 anak-anak, dengan tiga bayi usia 10 bulan.Desa ini paling terdekat dengan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi Sorik Marapi yang dikelola PT Sorik Marapi Geothermal Power(SMGP). Baca juga: Kebocoran Gas Beracun di Pembangkit Panas Bumi Sorik Marapi, 5 Orang TewasUntuk mengetahui penyebab puluhan masyarakat diduga keracunan gas H2S ini aparat kepolisian bergerak melakukan penyelidikan.Tim identifikasi dari Polres Mandailing Natal sepanjang Senin hingga Rabu (6-8 Maret) sore olah tempat kejadian dan memasang police line. Di lokasi ini, ada uji coba sumur wilver 05 yang diduga mengeluarkan gas beracun hidrogen sulfida (H2S) hingga terjadi insiden di masyarakat. | ['bencana alam' 'masyarakat desa' 'penelitian' 'politik'] | [0.013831224292516708, 0.9679399728775024, 0.018228823319077492] |
Puluhan Warga Dekat Pembangkit Sorik Marapi Keracunan Lagi, Mengapa Terus Berulang? | AKBP Muhammad Reza Chairul Akbar Sidiq, Kapolres Mandailing Natal ketika diwawancarai 7 Maret lalu mengatakan, tim sudah lakukan penyelidikan soal dugaan keracunan hidrogen sulfida dari pembangkit Sorik Marapi ini.Dari keterangan perusahaan, katanya, hari itu mereka mengetes sumur baru, willtest di whelferd AAE. Ketika sumur dibuka, tak ada kadar gas, namun laporan warga desa terpapar pas hingga mual-mual dan muntah. Manajer pun menyetop pengetesan.Dia meminta warga Sibanggor Julu menyerahkan masalah ini kepada aparat.Kasus keboroan gas di pembangkit panas bumi Sorik bukan pertama kali. Pada 25 Januari 2021 menyebabkan lima orang tewas terhirup gas beracun akibat kebocoran pipa proyek geothermal Sorik. Baca juga: Temuan ESDM soal Gas Beracun Sorik Marapi Kejadian yang terus berulang ini membuat Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi, marah. Saat diwawancarai 8 Maret dia mengatakan, sudah menyurati dan meminta pertanggungjawaban perusahaan soal kejadian keracunan itu.Dia memberikan peringatan agar tidak lagi terulang hal sama di kemudian hari. Jika terus terjadi, Edi akan melakukan proses hukum dan merekomendasikan supaya perusahaan ini segera ditutup karena membahayakan masyarakat sekitar.Sejak kejadian pertama, Pemerintah Sumatera Utara tidak lagi merekomendasikan perusahaan ini melanjutkan bisnis di Mandailing Natal. Dari kajian mereka, proyek ini akan membahayakan masyarakat karena ada satu pipa melewati pemukiman padat penduduk.“Kita juga peringatin agar tidak terjadi lagi. Jika surat itu diabaikan, tidak ditanggapi kita akan proses hukum. Ada jalurnya, akan direkomendasikan supaya perusahaan ditutup.”Edy bilang, memang mereka mengupayakan hal baik untuk menghasilkan energi terbarukan, tetapi terjadi kecerobohan hingga menyebabkan warga keracunan berulang. Dia meminta, pipa yang melewati pemukiman penduduk segera dipindahkan. | ['pendanaan' 'politik'] | [0.9999998211860657, 9.115430543715775e-08, 9.005590584365564e-08] |
Puluhan Warga Dekat Pembangkit Sorik Marapi Keracunan Lagi, Mengapa Terus Berulang? | Erwin Efendi Lubis, Ketua DPRD Mandailing Natal mengatakan, perlu mengkaji ulang perizinan perusahaan. Bukan untuk penolakan perusahaan, katanya, tetapi mencari solusi terbaik demi kepentingan bersama. “Bukan hanya kepentingan perusahaan, tetapi kepentingan pemerintah maupun kepentingan masyarakat.”Kasus ini, katanya, harus jadi pelajaran berharga terytama perusahaan.Terry Satria Indra, Kepala Teknik Panas Bumi PT Sorik Marapi Geothermal Power saat diwawancarai mengatakan, ketika uji coba sumur seluruh tim sudah menjalankan tugas dengan baik dan sesuai standar operasional.Atas kejadian itu, mereka pun meminta ahli dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, KESDM untuk menyelidiki. Terus berulang, sanksi tegasFatmata Juliansyah, Manajer Advokasi dan Kampanye Kawali Nasional mengatakan, kecelakaan ini bukan yang pertama, tetapi berulang.Awal tahun lalu, katanya, sudah memakan korban jiwa, dan sekarang terulang lagi korban sampai anak kecil.“Pemerintah harus tegas dalam memberikan sanksi ke perusahaan. Jangan sampai kejadian serupa terus terulang dan hak-hak masyarakat malah terabaikan,” katanya.Pada 2021, perusahaan kena sanksi skors. Setelah beberapa waktu ada pertimbangan pemerintah hingga operasi lagi dan terulang lagi, warga keracunan.Karena sudah mengancam nyawa masyarakat, katanya, ada dasar pemerintah mencabut izin perusahaan.Soal kepentingan eksploitasi dan pemenuhan pasokan listrik, katanya, bisa diserahkan kepada pihak lain sesuai kriteria dan memiliki sistem keamanan lebih baik. Bisa juga, katanya, serahkan kepada BUMN agar pengawasan langsung di bawah pemerintah.Mereka menilai permasalahan berulang terjadi ini karena kelalaian perusahaan.Pemerintah, katanya, harus tegas menyelesaikan masalah ini, dan memberikan sanksi kepada perusahaan menimbulkan kerugian yang kerugian lingkungan, sosial bahkan kesehatan masyarakat. ******* [SEP] | ['Aparatur Sipil Negara' 'masyarakat desa' 'konflik' 'lahan' 'sampah'] | [0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06] |
Empat Warga Negara Cina Selundupkan Paruh Enggang dari Indonesia | [CLS] Kasus penyelundupan bagian tubuh satwa dilindungi untuk digunakan sebagai obat tradisional kembali terjadi. Tanggal 3 Januari 2013 silam empat orang warga negara Cina tertangkap tangan membawa paruh burung enggang dan kulit trenggiling senilai lebih dari 1 miliar rupiah.Keempat warga negara Cina ini, seperti dilansir oleh merdeka.com akan berangkat menuju Hongkong dengan pesawat China Airlines dari Terminal 2D. “Penumpang berinisial LB kedapatan membawa 83 pcs paruh burung Enggang, WQ membawa 36 keping kulit trenggiling. Sedangkan LZ membawa 87 pcs paruh burung Enggang gading dan 80 keping kulit trenggiling. Tersangka terakhir YZ membawa 78 pcs paruh burung Enggang gading dan 73 keping kulit Trenggiling,” ujar Kepala Kantor Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta, Oza Olavia, Jumat 4 Januari 2012 silam kepada Merdeka.com.Total paruh enggang yang diselundupkan adalah 248 buah, dan kulit trenggiling berjumlah 189 buah. Kedua satwa ini merupakan satwa yang terancam dan dilindungi oleh Undang-Undang No.5 tahun 1990.Beberapa jenis satwa yang paling laris di pasaran gelap untuk dijadikan peliharaan adalah berbagai jenis burung langka dari Indonesia bagian timur, beberapa primata baik kecil maupun besar, serta beberapa jenis mamalia seperti beruang madu atau binturong.Sementara jenis satwa yang dimanfaatkan untuk dikonsumsi atau diambil bagian tubuhnya umumnya adalah penyu, yang biasanya dibunuh untuk dijadikan pajangan dengan cangkang yang indah, atau telur penyu untuk dikonsumsi, atau bahkan daging penyu yang dipercaya memiliki khasiat tertentu oleh beberapa bangsa di Asia seperti Cina dan Jepang.Spesies lain yang juga rentan diburu untuk dimanfaatkan bagian tubuhnya adalah ular, yang umumnya dikuliti untuk digunakan sebagai material mentah dalam bisnis busana wanita untuk dijadikan dompet, tas dan sepatu. | ['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'pendanaan' 'hewan terancam punah' 'sampah'] | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
Empat Warga Negara Cina Selundupkan Paruh Enggang dari Indonesia | Indonesia memiliki 14 jenis burung enggang dari 57 jenis yang ada di dunia, dan kini terancam terus menyusut jumlahnya akibat deforestasi dan perburuan liar. [SEP] | ['penyelamatan lingkungan' 'sampah'] | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
Dampingi Aksi Petani, Dua Aktivis Walhi Sumsel Jadi Tersangka | [CLS] Kepolisian Daerah Sumatera Selatan (Polda Sumsel) menetapkan tiga tersangka, dari 26 orang yang diamankan pada demo petani Ogan Ilir di Depan Mapolda, Selasa (29/1/13). Ketiga orang itu, Anwar Sadat, dan Dedek Chaniago, masing-masing direktur eksekutif dan staf Walhi Sumsel serta, Kamaludin, petani dari Serikat Petani Sriwijaya (SPS), Desa Sunur Kabupaten Ogan Ilir. Sedangkan, ke 23 orang yang lain sudah dibebaskan.Humas Mapolda Sumsel AKBP R Djarod Padakova dikutip dari Sindo, Rabu(30/1/13), mengatakan, dari hasil pemeriksaan penyidik, akhirnya ditetapkan tiga tersangka. Dedek Chaniago dan Anwar Sadat dijerat Pasal 160 KUHP karena penghasutan. Sedang Kamaludin terkena dijerat Pasal 351 KUHP karena dituduh menyerang petugas kepolisian hingga terluka.Saat ini, ketiga tersangka sudah dipindahkan dari ruang periksa Unit IV dan V Subdit 3 Ditreskrimun Polda Sumsel ke ruang tahanan Polda Sumsel. Menurut dia, surat penahanan sudah keluar. “Penetapan tersangka sudah berdasarkan prosedur hukum berlaku, baik dari keterangan saksi korban, saksi lain dan barang-bukti di TKP.”Hadi Jatmiko, Kepala Divisi Pengembangan dan Pengorganisasian Walhi Sumsel mengatakan, Walhi tak akan tinggal diam, tim pembela akan mendampingi rekan-rekan mereka. “Kami akan bela sampai rekan-rekan kami dibebaskan.” Guna membela Anwar Sadat dan kawan-kawan, sebanyak 24 pengacara dari Jakarta, Palembang dan Jambi siap mendampingi.Selain lewat pembelaan hukum, Walhi juga menggalang dukungan masyarakat luas, lewat petisi bebaskan Anwar Sadat dkk di change.org. Sampai hari ini, penandatangan petisi sudah mendekati angka 1.000 orang.Tak hanya itu. Kamis (31/1/13), ribuan petani dari tiga kabupaten, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir dan Ogan Ilir, akan aksi kembali. Saat ini, di DPRD Sumsel, ada sekitar 600 massa dan menyusul ratusan petani dari Musi Banyuasin, sekitar 15 truk. | ['bencana alam' 'masyarakat desa' 'sampah'] | [0.476456880569458, 0.5139302611351013, 0.009612822905182838] |
Dampingi Aksi Petani, Dua Aktivis Walhi Sumsel Jadi Tersangka | Hadi, juga koordinator aksi kepada Mongabay, mengatakan, demo susulan ini menuntut beberapa hal. Pertama, pembebasan Anwar Sadat, Dedek Chaniago dan Kamaludin. Kedua, pecat dan copot Kapolda Sumsel dan Kapolres Ogan Ilir karena penjahat kemanusiaan dan pelanggar HAM. Ketiga, kembalikan lahan petani Desa Betung Ogan Ilir, seluas 1.200 hektra yang sudah dirampas PTPN VII Cinta Manis. Keempat, hentikan keterlibatan polisi dan TNI dalam konflik agraria. Terakhir, setop kriminalisasi dan pembungkaman terhadap aktivis dan pejuang HAM.Di Jakarta, Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Rabu(30/1/13) mengatakan, Sumsel, salah satu daerah di Indonesia, yang penuh kekerasan aparat. Menurut dia, bukan hal baru dalam perjuangan para aktivis dikriminalisasi.Namun, dia curiga dengan fenomena di Indonesia, belakangan ini dengan begitu mudah aparat keamanan bertindak dan melakukan kekerasan terhadap aksi massa terutama dalam konflik agraria maupun sumber daya alam (SDA). “Pertanyaan? Sebenarnya sedang ada apa di balik semua ini?” katanya dalam jumpa pers gabungan Walhi, KontraS, Sawit Watch, YLBHI, AMAN, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Anti Utang (KAU), Elsam, HuMa dan Agra.Dia mempertanyakan, apakah kebrutalan aparat ini ada kaiatan dengan beberapa UU yang tengah dibahas, seperti RUU Keamanan Nasional, dan RUU Ormas. Belum lagi, saat ini masa mendekati pemilu. Bersama KontraS, siang itu, Abetnego terbang ke Sumsel.Abetnego juga heran, begitu banyak kekerasan aparat tanpa dasar hukum jelas. “Apa dasar hukum Polri lakukan tindakan itu. Ini yang tak ada penjelasan.” | ['Aparatur Sipil Negara' 'lahan' 'penyelamatan lingkungan' 'perusahaan'
'politik' 'sampah'] | [0.476456880569458, 0.5139302611351013, 0.009612822905182838] |
Dampingi Aksi Petani, Dua Aktivis Walhi Sumsel Jadi Tersangka | Tim Jakarta, hari yang sama bertemu Bareskrim Mabes Polri dan Komnas HAM. Sinung dari KontraS mengatakan, saat bertemu Bareskrim, diminta pelaku-pelaku pemukulan Sadat dan kawan-kawan harus diusut menggunakan kasus kriminal, tidak internal. “Kalau pakai aturan internal cuma dapat teguran, yang tak ada efek jera.” Tuntutan, bisa kepada Bareskrim Mabes Polri, karena memiliki kewenangan supervisi ke daerah.Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, kepada Bareskrim bisa meminta Polri mengusut operasi PTPN VII di luar HGU.Hal lain yang perlu perhatian Mabes Polri, konflik ini bisa dimainkan manajemen. Ketika konflik, biaya operasional menjadi membengkak. “Ini yang harus ditekankan juga pada Bareskrim untuk penyelidikan terhadap kemungkinan-kemungkinan ini.”Solidaritas Walhi SumselGuna solidaritas bagi petani dan aktivis Walhi Sumsel yang ditangkap polisi, Rabu(30/1/13), di Jambi, sekitar 10 aktivis Walhi Jambi, Rabu (30/1), mengadakan aksi damai di Simpang Bank Indonesia, Telanaipura. Mereka mengecam tindakan aparat kepolisian terhadap petani dan aktivis.Aktivis Walhi Jambi aksi membentangkan spanduk dukungan untuk pembebasan aktivis Walhi dan warga Sumsel yang ditahan. Dalam pernyataan sikap Walhi Jambi, menyebutkan, bebaskan seluruh aktivis dan warga Sumsel kini ditahan, kembalikan tanah rakyat yang diambil paksa PTPN VII Cinta Manis. Mereka juga meminta aparat yang melakukan kekerasan, dan pelanggaran HAM harus ditindak tegas.Dari Pontianak, Walhi Kalimantan Barat (Kalbar) juga mengeluarkan pernyataan sikap terkait kekerasan dan penangkapan petani dan aktivis penggiat lingkungan hidup Sumsel ini. | ['Aparatur Sipil Negara' 'sampah'] | [0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608] |
Dampingi Aksi Petani, Dua Aktivis Walhi Sumsel Jadi Tersangka | Anton P Widjaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar mengatakan, perjuangan petani Indonesia dalam melindungi dan mempertahankan tanah serta wilayah kelola mereka dari perampasan dan penggunaan lain merupakan perjuangan sangat fundamental. “Ini perjuangan untuk bertahan hidup dan mengembangkan kehidupan di muka bumi ini.”Namun, realitas di negeri ini berbeda. Para penegak hukum justru lebih berpihak kepada pemilik modal. “Dimana-mana konflik perebutan lahan atau konflik agraria selalu memposisikan masyarakat petani sebagai korban untuk dikalahkan,” ujar dia.Mereka yang mempertahankan tanah-tanah dianggap salah, hingga layak dipukul, ditangkap, dikriminalisasi. Bahkan, ucap Anton, tidak sedikit harus dimatikan, agar perjuangan mempertahankan tanah leluhur lemah dan mudah diambil alih.Kasus sama menimpa perjuangan petani yang berkonflik dengan PTPN VII Cinta Manis ini. “Cara-cara kanibal ini, tidak malu masih digunakan aparat kepolisian dalam menangani konflik agraria antara perusahaan dan masyarakat petani.”Anehnya, ini terjadi di tengah koar-koar perubahan dan komitmen pemerintah RI lebih menghormati HAM dan masyarakat adat di Indonesia. “Penanganan kasus seperti ini aib yang harus dipertanggungjawabkan.”Di Kalbar sendiri, katanya, konflik agraria sudah menjadi persoalan utama pemerintah daerah. Untuk itu, pola penanganan dan penyelesaian harus lebih baik. Banyak kasus di luar Kalbar, harus menjadi pelajaran pemerintah dan aparat kepolisian.“Kami mendesak pemerintah, khusus kapolda dan jajaran lebih meningkatkan kapasitas memahami historis kepemilikan tanah di Kalbar dan konflik-konflik agraria yang terjadi.”Kapasitas yang baik akan berkontribusi signifikan dalam mengamankan dan memediasi konflik agraria antara masyarakat petani dengan perusahaan. “Setidaknya aparat menjadi lebih obyektif dan malu berpihak kepada modal.” [SEP] | ['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'bencana alam'
'iklim/cuaca' 'konflik' 'lahan' 'penyelamatan lingkungan'] | [0.476456880569458, 0.5139302611351013, 0.009612822905182838] |
Sungai Kampar Meluap, Ribuan Ikan Mati | [CLS] Sekitar setengah bulan, Desa Pangkalan Terap, Kecamatan Teluk Meranti, Riau, terendam banjir. Sungai Kampar, meluap. Jalanan tenggelam. Sekitar 38 rumah warga terendam.Kebun dan lahan pertanian tenggelam. Ikan toman, baung, tapa, gabus dan banyak ikan kecil maupun besar mengapung, Ribuan ikan mati. Tiap pagi, sekitar 30 kilogram ikan mati dalam alat tangkap bubu. Busuk dan hancur tak dapat diolah. Udang pun mati.Meski begitu, nelayan desa tetap mencari ikan, menunggu matahari tinggi atau air sedikit surut untuk menyusuri Sungai Kampar. Pasang tiba lagi jelang sore dan tengah malam. Sangat mengganggu kegiatan sehari-hari masyarakat.Sejak 19 Desember lalu, masyarakat yang tinggal di bantaran sungai terus memungut ikan mati. Hari pertama mereka mengumpulkan sekitar 500 kilogram. Sebagian mengasapi dan mengasinkan ikan. Aebagian lagi tak mau ambil risiko mengkonsumsi ikan-ikan itu.Cari ikan, salah satu sumber ekonomi di sana selain memotong karet. Ujang Masni, petani dan nelayan Desa Pangkalan Terap, mengatakan, tidak biasa ikan mati dengan jumlah banyak. Banjir memang tahunan, biasa, hanya satu dua ikan mati. Meskipun terendam anak-anak tetap berangkat sekolah tiap pagi pakai sampan. Pukul 13.00, atau waktu pasang tiba, sekolah akan tenggelam. Air sungai keruh. Air bikin gatal kalau kena kulit. Perih di mata ketika cuci muka. Masyarakat tak berani pakai air ini. Mau tak mau pakai air hujan bahkan air galon untuk mandi.Ujang dan masyarakat sekitar belum menerima bantuan dari pemerintah selama banjir menggenangi pemukiman. Mereka terpaksa buat lantai tambahan dalam rumah untuk menghindari genangan air. PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) ada membagikan 300 kilogram beras dan 30 kotak mie instan.“Saya dapat satu kilogram beras dan tiga bungkus mie instan tadi pagi,” kata Anistra, nelayan desa. Itu pertama kali dia dapat bantuan sejak banjir menggenang November lalu. | ['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'bencana alam'
'iklim/cuaca' 'konflik' 'lahan'] | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
Sungai Kampar Meluap, Ribuan Ikan Mati | Selama banjir Anistra, tak dapat berbuat apa-apa. Dia utang di warung untuk keperluan sehari-hari. Anistra hidup dengan tujuh orang kelurga di rumah.Sudirman, Dewan Majelis Pusat Gambut Riau, yang tinggal bersebelahan dengan Desa Pangkalan Terap, meminta Dinas Lingkungan Hidup Pelalawan segera mengidentifikasi penyebab ikan mati. “Kami tak mau efeknya pada masyarakat dan anak-anak.”Syamsul Anwar, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pelalawan, menduga ikan mati karena limbah. Dia mengklaim tak ada limbah industri, meski diakui RAPP membuang limbah ke sungai. Dia bilang, sudah sesuai baku matu. RAPP, katanya, selalu memberi laporan dan DLH Pelalawan selalu menguji terlebih dahulu limbah buangan. Faktor lain, kata Syamsul, bisa jadi ikan mati karena kekurangan oksigen atau mikroorganisme dalam air. Kejadian serupa pernah terjadi tahun-tahun sebelumnya bila sungai meluap saat banjir.“Makin banyak debit air dalam sungai sebenarnya lebih cepat dan mudah mengurai limbah yang dibuang ke sungai.”Syamsul terus meyakinkan, dugaan ikan itu datang dari Kuantan Singingi, Kampar atau Pariaman, bukan asli di Sungai Kampar. Dia merujuk hulu Sungai Kampar, dari daerah itu. Ditambah lagi, PLTA Koto Panjang, selama musim hujan beberapa kali menaikkan pintu air untuk mengurangi debit air.Untuk membuktikan dugaan ikan mati karena limbah industri atau rumah tangga, Syamsul menunggu hasil uji sampel Dinas Perikanan Pelalawan. Mereka juga akan menguji sampel air sungai. “Itu tidak selesai satu atau dua hari. Tunggulah hasilnya. Jangan bilang kami kerja tidak profesional.” Cerita Ujang Masni, Dinas Perikanan dan Kelautan Pelalawan datang ke desa itu, Rabu (26/12/18). Petugas hanya datang memfoto dan bertanya pada masyarakat, tetapi tak mengambil sampel air atau ikan mati. Setelah mereka pulang, menyusul Sapta, ditugasi Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ditemani petugas DLH Pelalawan. | ['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'bencana alam'
'masyarakat desa' 'iklim/cuaca' 'konflik' 'penelitian' 'politik'] | [0.9992979764938354, 0.00035951982135884464, 0.00034251681063324213] |
Sungai Kampar Meluap, Ribuan Ikan Mati | Bedanya, Sapta membawa air sungai untuk sampel uji laboratorium. “Hasilnya, saya harus lapor atasan. Saya hanya ditugaskan cek lokasi dan mengambil air sungai untuk diuji,” katanya.Satu hari pasca peninjauan petugas, Ujang datang ke Pekanbaru, membawa beberapa ikan mati dan sebotol air sungai. Kata Ismail dan Udin, aktivis Jaringan Masyarakat Gambut Riau, yang mendampingi Ujang, sampel itu akan diserahkan pada Adhy Prayitno, peneliti di Pusat Studi Bencana Universitas Riau. Keterangan foto utama: Warga mengumpulkan ikan-ikan mati dari Sungai Kampar. Foto: dokumen warga [SEP] | ['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'bencana alam' 'masyarakat desa' 'kebijakan'
'lahan' 'mangrove'] | [0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606] |
Buku Baru: Berebut Hutan Siberut | [CLS] “Apa orang-orang itu? Mereka itu penakut. Dulu, mereka melarang-larang saya untuk mengumpulkan pemuda dan melakukan aksi pembakaran. Mereka mengatakan, nanti kita ditangkap polisi atau Saibi tidak mendapatkan bantuan pembangunan. Tapi sekarang? Merekalah yang mendapat uang dari perusahaan kayu. Mereka mendapatkan uang keamanan setiap bulan dengan mengancam-ngancam perusahaan kayu. Mereka mengambil keuntungan dari tindakan saya dan teman-teman saya.”Demikian ungkapan kekesalan seorang tokoh muda Siberut, pelopor gerakan menolak perusahaan kayu dikutip dari buku berjudul “Berebut Hutan Siberut” karya Darmanto dan Abidah B Setyowati.Terjadi konflik antara masyarakat dan perusahaan, kala pemilik modal ini akan masuk guna menebang kayu hutan Siberut. Muncul perlawanan warga. Berbagai masalahpun hadir. Ada yang marah, dan menolak. Ada yang memanfaatkan penolakan itu demi mendapatkan keuntungan.Buku ini dari bab ke bab menyajikan pergulatan sosial, konflik yang berlapis-lapis dan rumit. Tergambarkan bagaimana akses dan kontrol hutan diperebutkan oleh banyak aktor dengan beragam kepentingan, cara, dan tujuan yang saling bertaut, dan berbenturan. Hubungan antara manusia dan hutan di Siberut, bak hutan itu sendiri; lebat, penuh onak dan duri, serta terdiri dari bermacam ragam, tidak homogen.Siberut, dalam 10 tahun ini, kata Darmanto, banyak mengalami perubahan. Masyarakat di sana sudah mengerti politik, untung rugi dan lain-lain. “Buku ini berupaya mengetengahkan pergeseran cara pandang terhadap Siberut, dari masa kolonial, misionaris, masuknya perusahaan kayu, masuk komunitas adat sampai desentralisasi dan banyak lagi,” kata Darmanto, di Jakarta, dalam lauching buku Berebut Hutan Siberut, hasil kerja sama KPG dan Unesco ini, 8 Januari 2013. | ['Aparatur Sipil Negara' 'iklim/cuaca' 'lahan' 'perusahaan' 'politik'] | [0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608] |
Buku Baru: Berebut Hutan Siberut | Siberut bisa dikatakan pulau dengan banyak wajah. Bagi aktivis konservasi, Siberut adalah tautan imajinasi tentang bagaimana suatu masyarakat dapat hidup selaras dengan alam yang berlimpah keragaman hayati. Bagi negara, Siberut itu kawasan terpencil dan terbelakang, suatu wilayah berpenduduk sedikit keras kepala dan terasing. Bagi perusahaan kayu, Siberut adalah hutan berisi kayu gelondongan yang siap dibagi ke dalam zona konsesi.Bagi para turis, Siberut adalah eksotisme, ombak, dan pantai. Bagaimana orang Mentawai sendiri, melihat Siberut beserta hutan tropis dan segala sumber dayanya? Ia adalah tempat hidup, merajut makna, dan berproduksi. “Banyak tulisan berdasarkan pengalaman saya sendiri, dari hasil pergulatan pribadi saya memandang Siberut.”Pada launching itu, Suraya A Afiff sebagai Ketua Pusat Kajian Antropologi Univeritas Indonesia (UI) bersama Eko Baruto Waluyo, dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, hadir sebagai pembahas buku.Menurut Suraya, penulis dalam membahas buku ini ada keseriusan dan perjalanan panjang. Kekhasan penulis dalam melihat Siberut dan tidak terpengaruh agenda-agenda lembaga swadaya masyarakat (LSM) menjadikan buku ini menarik. “Ini buku dari lapangan dan melihat langsung perubahan-perubahan di sana dengan lebih jernih,” ujar dia.Dalam buku ini, memperlihatkan begitu banyak persoalan-persoalan di dalam masyarakat Siberut, praktik-praktik positif dengan melepas yang negatif atau mengkombinasi dan memperlihatkan dilema, maupun kontradiksi. “Tidak hitam putih.”Namun, dia mengkritik, dari bab ke bab dalam buku ini tokoh yang diketengahkan semua laki-laki. Seolah-olah, dunia di Siberut itu hanya laki-laki tak ada perempuan. “Seolah-olah seluruh wilayah terkait kehutanan itu laki-laki semua. Itu tidak.” “Cover foto juga dipilih laki-laki,” ucap Suraya, sambil tersenyum. | ['Aparatur Sipil Negara' 'bencana alam' 'iklim/cuaca' 'kebijakan'
'konflik' 'lahan' 'penyelamatan lingkungan' 'politik'] | [0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606] |
Buku Baru: Berebut Hutan Siberut | “Buku ini akan saya gunakan dalam kuliah. Saya jarang menggunakan buku berbahasa Indonesia, karena susah mencari buku (yang berisi bahasan) mengenai masyarakat adat.”Eko Baruto mengatakan, buku ini dari sisi etnografi luar biasa. Namun, mengenai cacatan hutan yang diperdebatkan malah sedikit. “Aspek teknis hutan malah dikesampingkan, hanya sedikit diulas. Padahal dari kekhasan ekologi, banyak sekali yang bisa dilakukan.” Eko mencontohkan, ada penelitian tentang ekosistem di Siberut, menemukan hutan primer 76 persen, hutan sekunder 6,5 persen dan lima persen rawa, yang bisa digunakan dalam buku ini.Suraya membela Darmanto. Menurut dia, hutan yang dimaksud dalam buku Darmanto dan Abidah ini dari sudut pandang hutan sebagai hasil proses konstruksi. Di buku ini diperlihatkan bagaimana konstruksi hutan dari masyarakat, yang sangat beda dengan pemerintah. “Saya paham mengapa dia (penulis) tidak memakai data hutan 75 persen. Karena (penulis) melihat konstruksi lain.”Darmanto membenarkan, jika hampir semua nara sumber laki-laki . “Kebudayaan Mentawai, sangat maskulin. Saya tidak adil terhadap sumber perempuan. Saya kurang memiliki kepekaan. Ke depan harus berhati-hati,” kata Darmanto.Mengenai makna hutan Siberut, dalam buku itu, sebenarnya sebuah perdebatan tersendiri. Ada defenisi formal tentang hutan. Namun, dia, sedikit menolak karena defenisi hutan selalu dari atas. Dalam buku ini Darmanto berusaha memprioritaskan pandangan-pandangan dari Siberut, defenisi hutan dari masyarakat.Darmanto di Siberut, sejak 2003, untuk meneliti peladangan tradisional orang Mentawai, di Lembah Rereiket. Dia juga bergabung di proyek kolaboratif, lewat iniatif Unesco menjadi Direktur Perkumpulan Siberut Hijau (Pasih). | ['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa'
'konflik' 'trivia'] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
Buku Baru: Berebut Hutan Siberut | Sedang Abidah, pada pertengahan 2003, selama beberapa minggu ke Siberut. Di sana, dia mengumpulkan data lapangan untuk tesis di Universitas Hawaii tentang ekologi politik tata kelola hutan di Siberut. Nah, penasaran ingin tahu pergulatan dan perebutan hutan Siberut? Silakan lanjut membaca…. [SEP] | ['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'kebijakan'
'konflik' 'pendanaan' 'politik' 'trivia'] | [0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606] |
Laporan Greenpeace Ungkap Kehancuran Daerah Kala Terkepung Tambang Batubara | [CLS] Greenpeace meluncurkan investigasi bertajuk “Desa Terkepung Tambang Batubara: Kisah Investasi Banpu” pada Rabu (30/3/16). Banpu, perusahaan asal Thailand dianggap menimbulkan dampak buruk bagi perubahan bentang alam, mencemari air, menghancurkan lahan pertanian dan menyisakan lubang-lubang tambang raksasa. Investigasi ini kerjasama Greenpeace bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).Banpu di Indonesia memiliki saham 65% pada PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITM), terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Tiga anak perusahaan PT Kitadin, PT Indominco Mandiri, dan PT Jorong Barutama Greston. Tahun 2014, ITM produksi batubara 29,1 juta ton.Banpu kini merencanakan ekspansi PLTU batubara besar-besaran di Asia Tenggara. Otomatis, akan bersampak pada eksploitasi besar-besaran di Indonesia. Tahun ini, Banpu berusaha meningkatkan sumber pendanaan melalui penawaran saham pendana (initial public offering) di Bursa Efek Thailand. Pendaftaran IPO sejak akhir 2015.Studi kasus Greenpeace, masyarakat di Desa Kerta Buana Tenggarong Kalimantan Timur (Kaltim) terpapar dampak negatif batubara PT. Kitadin.Bondan Andriyanu, Jurukampanye Batubara Greenpeace Indonesia mengatakan, 50% atau 796 hektar desa berubah menjadi konsesi tambang. Sisi barat dan timur, tambang sudah tak beroperasi, menyisakan bekas lubang. Warga mengeluhkan banjir dan kekeringan. Semula desa itu wilayah transmigrasi kebanyakan dari Bali.“Warga mengeluh sejak 2003. Jika musim hujan banjir, kemarau warga terpaksa tak bisa menanam padi karena tak ada lagi air di saluran irigasi. Air irigasi, terjebak di lubang-lubang bekas tambang Kitadin membentuk danau buatan,” katanya.Kitadin membangun kanal dan saluran pembuangan air melewati desa. Ketika air meluap, otomatis rumah warga banjir. | ['Aparatur Sipil Negara' 'masyarakat desa' 'energi' 'kebijakan' 'konflik'
'lahan' 'pertanian' 'politik' 'tambang'] | [0.9993699789047241, 0.00033445339067839086, 0.00029553149943239987] |
Laporan Greenpeace Ungkap Kehancuran Daerah Kala Terkepung Tambang Batubara | Kondisi ini membuat siklus panen menjadi tak menentu. Semula menanam setahun dua kali hasil lebih 10 ton. Kini menanam setahun sekali, hasil empat ton. Lahan pertanian dan sawah tersisa hanya 80 hektar.Tak jauh dari Desa Kerta Buana, yakni Desa Bangun Rejo keadaan seperti desa tak bertuan. Awalnya desa itu dihuni 10.000 penduduk. Dari empat dusun, tersisa dua saja. Kitadin membeli lahan-lahan warga untuk tambang batubara.“Warga mereka tak ada pilihan. Tanah telanjur dijual, pindah ke tempat lain menjadi buruh. Dampak dirasakan kala Kitadin beroperasi,” katanya.Air tercemar. Warga terpaksa membeli air minum. “Kini mereka harus menggali sumur kedalaman 10-20 meter buat dapat air,” kata Bondan.Warga setempat, I Nyoman Derman pernah ditangkap 2003 dan penjara tiga bulan karena menolak pertambangan. Dia bersikukuh tak menjual lahan. Penangkapan membuat warga tak berani demonstrasi.Studi kasus juga di PT Indominco Mandiri, Kutai Kartanegara, Kaltim. Perusahaan beroperasi di hulu Sungai Santan, hingga kualitas air memburuk. “Ini berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Air berubah warna, banyak ikan mati, warga sekitar mengeluh sering gatal-gatal,” katanya.Sejak 2005, warga berhenti mengkonsumsi air Sungai Santan untuk minum dan memasak. Perusahaan langsung membuang limbah ke hulu sungai. Di sana ada tiga sungai sepanjang 13,4 km, Santan, Kare dan Pelakan.Warga, sangat tergantung ketiga sungai ini. Mereka memanfaatkan aliran sungai untuk transportasi, air bersih, tangkapan ikan dan irigasi lahan-lahan pertanian. Penolakan warga terus terjadi.” | ['Aparatur Sipil Negara' 'kebijakan' 'penelitian'
'penyelamatan lingkungan' 'perusahaan' 'sampah' 'tambang'] | [0.4948588013648987, 0.4965273141860962, 0.008613888174295425] |
Laporan Greenpeace Ungkap Kehancuran Daerah Kala Terkepung Tambang Batubara | Warga mengirim surat keberatan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, supaya tak menerbitkan izin lingkungan penambangan batubara di Sungai Santan. Gayung bersambut. Pada 11 Februari 2015, warga audiensi dengan Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Hidup dan meminta Komisi Penilai Amdal Pusat membatalkan rencana penambangan batubara di Santan. Akhirnya 24 November 2015, KLHK mengeluarkan surat menarik persetujuan pertambangan di sungai itu.Hal ini diikuti Gubernur Kaltim yang mengeluarkan surat penolakan rencana pengalihan atau relokasi Sungai Santan, Kare dan Pelakan.Meski begitu, kata Bondan, bukan berarti warga benar-benar aman. Saat ini, Indominco tengah merevisi Amdal.Dihubungi terpisah, Dirjen Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Karliansyah mengungkapkan, Indominco pada 2014 pernah meraih peringkat biru penghargaan Proper. Pada 2015, penilaian pada perusahaan itu tak diumumkan.“Ada aduan masyarakat dan sedang di bawah kendali penegakan hukum.”Daerah lain yang diinvestigasi Greenpeace dan Jatam adalah Jorong, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, pertambangan batubara PT Jurong Barutama Greston.“Sejauh mata memandang begitu banyak lubang-lubang bekas tambang beragam ukuran di ditinggalkan begitu saja setelah batubara dikeruk habis Jorong Barutama,” kata Bondan.Bahkan, ada lubang tambang selebar dua kilometer. Pada 2014, Greenpeace mengukur kadar PH air di lubang tambang yang menyerupai danau ini. Hasilnya, PH sangat asam 3,74. Di lubang tambang lain kadar PH berkisar antara 3,15-4,66. Juga ada kandungan mangan diatas rata-rata.“Air lubang tambang berwarna warni. Kadang biru, kadang hijau. Air mengalir ke sungai dan meracuni.”Bondan mengatakan, Banpu seharusnya tak lagi ekspansi bisnis batubara di Indonesia. Dia meminta Pemerintah Indonesia mengawasi ketat dan penegakan hukum tegas melindungi rakyat. | ['Aparatur Sipil Negara' 'kebijakan' 'konflik' 'korupsi' 'lahan'
'perusahaan' 'tambang'] | [0.999989926815033, 5.325947768142214e-06, 4.717151114164153e-06] |
Laporan Greenpeace Ungkap Kehancuran Daerah Kala Terkepung Tambang Batubara | Arif Fiyanto, Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia menambahkan, hasil investigasi ini menunjukkan batubara meninggalkan jejak kerusakan lingkungan masif. Bukan hanya menghancurkan lingkungan hidup, juga mengancam masyarakat sekitar.“ Ini hanya sekelumit potret tambang batubara di Indonesia. Kita ingin publik tahu, Banpu sudah timbulkan masalah lingkungan. Ini harus dibereskan.”Mongabay mencoba konfirmasi lewat email kepada ITM, tetapi sampai berita ini turun belum mendapatkan tanggapan.Protes PLTU batubara BatangKesengsaraan warga tak hanya di lokasi produksi batubara seperti di desa-desa di Kaltim dan Kalsel, juga di tempat pemanfaatan batubara, seperti PLTU Batang, Jawa Tengah. Warga tak bisa memilih bertahan di lahan mereka, tetapi harus melepas kepada perusahaan demi pembangunan PLTU batubara di Batang.Pada Jumat (1/4/16), warga Batang aksi di Kedutaan Besar Jepang di Jakarta. Kostum mereka cukup nyentrik, menyerupai hantu Jepang putih banyak coretan darah.“Kami akan terus menghantui Pemerintah Jepang agar membatalkan pembiayaan PLTU di Batang,” kata juru bicara aksi yang tergabung dalam Solidaritas untuk Keadilan Warga Batang (SKWB), Hadi Priyanto.Beberapa waktu lalu SKWB juga aksi di Universitas Indonesia kala Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo bertandang. Tak ada respon.Beberapa peserta aksi teaterikal. Seng dibentangkan bertuliskan “Coal Kills Us.” Seorang perempuan berdiri tegak mematung membawa cangkul menggambarkan penderitaan warga Batang yang tak lagi bisa mengakses sawah. Pemagaran oleh PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) sejak 24 Maret 2016.“Pemerintah Jepang harus menghentikan proyek yang banyak korban ini. Tak hanya merusak lingkungan dan menghancurkan ekonomi masyarakat, juga merusak reputasi Jepang sebagai negara yang menghormati HAM.” | ['budidaya' 'penelitian' 'trivia'] | [0.4948588013648987, 0.4965273141860962, 0.008613888174295425] |
Laporan Greenpeace Ungkap Kehancuran Daerah Kala Terkepung Tambang Batubara | Megaproyek PLTU batubara Batang, akan berdiri di lima desa, Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan Roban (UKPWR). PLTU ini kerjasama pemerintah Indonesia dengan konsorsium BPI. BPI terdiri dari PT Adaro Energy (Indonesia), PT Itochu (Jepang), dan PT J-Power (Jepang). Proyek berkapasitas 2 x 1.000 Megawatt diklaim menjadi PLTU batubara terbesar di Asia Tenggara. Luas lahan 226 hektar. [SEP] | ['budidaya' 'hewan terancam punah' 'trivia'] | [0.9993699789047241, 0.00033445339067839086, 0.00029553149943239987] |
Pengelolaan Hutan Gorontalo Makin Memprihatinkan | [CLS] Diskusi pengelolaan hutan di Gorontalo. Foto: Christopel PainoPengelolaan hutan dan lingkungan di Gorontalo, dinilai makin mendorong laju deforestasi. Intensitas banjir dan tanah longsor tinggi tahun lalu makin memberikan bukti nyata. Pemerintah daerah pun dinilai membuat kebijakan tak tepat. Demikian benang merah diskusi awal tahun bertajuk “Refleksi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Gorontalo”, yang digelar di tepi Pantai Botutonuo, di Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Kamis(10/1/ 2013).Diskusi terbuka dengan konsep alam terbuka itu dihadiri mahasiswa pencinta alam, aktivis perempuan, pegiat lingkungan, dan perwakilan media di Gorontalo. Peserta aktif memberikan sumbang pemikiran mengenai fenomena lingkungan di Gorontalo. Diskusi ini digelar oleh Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda), bekerja sama dengan Mongabay Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen Kota Gorontalo.“Lahirnya beberapa kebijakan alih fungsi hutan, baik oleh pemerintah pusat maupun didukung pemerintah daerah, seperti perkebunan sawit dan pertambangan, makin mempertegas ancaman eksistensi lingkungan dan masyarakat di sini,” kata Rahman Dako, koordinator Teluk Tomini Susclam (Sustainable Coastal Livelihoods and Management).Menurut dia, investasi perkebunan sawit dan pertambangan emas kini menjadi primadona pemerintah daerah di Gorontalo. Demi mengejar percepatan pertumbunan ekonomi dan pembangunan daerah, dua sektor ini seolah menjadi sinterklas. “Tahun 2012 adalah tahun sawit di Gorontalo. Seluruh kabupaten di Gorontalo dimasuki perusahaan sawit.”Senada diungkapkan Ahmad Bahsoan, ketua Japesda Gorontalo. Menurut dia, kebijakan alih fungsi hutan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone untuk pertambangan PT Gorontalo Mineral, anak perusahaan Bumi Resources milik keluarga Bakrie, salah satu dosa besar pemerintah. “Belum lagi perkebunan sawit yang sedang “genit-genitnya” mengincar hutan Gorontalo.” | ['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'iklim/cuaca' 'mangrove' 'perusahaan'
'sampah'] | [0.4948588013648987, 0.4965273141860962, 0.008613888174295425] |
Pengelolaan Hutan Gorontalo Makin Memprihatinkan | Untuk perkebunan sawit, ucap Ahmad, banyak masyarakat menolak. Surat keputusan Menteri Kehutanan yang memberikan izin pelepasan kawasan kepada perusahaan sawit, menyebabkan konflik lewat penyerobotan dan perampasan tanah.“ Contoh, di Desa Dudewulo, Kecamatan Popayato Barat, Kabupaten Pohuwato. Hingga saat ini, tanah masyarakat dicaplok sepihak oleh perkebunan sawit. Ketika masyarakat melawan menuntut hak, mereka justru dihadapkan dengan moncong senjata aparat militer.”Selain dua sektor ini, kerusakan hutan tropis di Gorontalo, disebabkan degradasi wilayah pesisir akibat salah urus pemerintah, terutama di Kabupaten Pohuwato, Boalemo dan Gorontalo Utara. Terjadi kebijakan pengembangan usaha tambak yang salah satu mengakibatkan hilangnya 5.000 hektar konservasi hutan mangrove di Cagar Alam Tanjung Panjang.Rudy Adam, aktivis Japesda sekaligus panitia mengungkapkan, diskusi ini perlu didorong sampai pada pemberian rekomendasi kepada pemerintah daerah. “Agar pengambilan kebijakan tepat dan komprehensif hingga mampu menetralisir pengembangan sektor kehutanan, pesisir dan laut, perkebunan maupun pertambangan di Gorontalo.”Hingga kebijakan yang keluar, bisa konsisten, jelas , dan transparan kepada masyarakat luas dengan mengedepankan nilai-nilai konservasi dan keberlanjutan. [SEP] | ['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'iklim/cuaca' 'pendanaan'
'politik'] | [1.0, 1.718947317819186e-09, 1.4937721060093168e-09] |
Hartati Murdaya Bebas, Petani Buol Protes | [CLS] Direktur Utama perusahaan sawit PT. Hardaya Inti Plantations (HIP), Siti Hartati Murdaya, terpidana kasus penyuapan mantan Bupati Buol Amran Batalipu yang telah ditangkap KPK, dibebaskan bersyarat oleh Kementerian Hukum dan HAM. Masyarakat Buol, melalui Forum Petani Buol, mengaku kecewa dan mengecam pembebasan bersyarat itu.Sejak Senin, (1/9), para petani yang datang dari Kabupaten Buol menuju Kota Palu bergerak menemui perwakilan Komnas HAM dan kepolisian daerah Sulawesi Tengah. Selain protes terhadap pembebasan Hartati Murdaya, para petani juga meluapkan kekecewaannya dengan meminta penyelesaian konflik antara Forum Petani Buol dengan perusahaan PT. Hardaya Inti Plantations.Sudarmin Paliba, Anggota Forum Petani Buol mengatakan, di daerah mereka bercokol dua perusahaan milik mantan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat itu, yakni PT. Hardaya Inti Plantations dan PT. Cipta Cakra Murdaya. Kehadiran Hartati dan perusahaannya dianggap telah membawa banyak masalah.“Perusahaannya telah mengambil sewenang-wenang tanah ulayat di Hulu Unone, Hulu Biau, dan Hulu Umbadudu. Di atas lahan tersebut, sebelumnya merupakan lahan pertanian, perkebunan produktif, dan bekas garapan orang tua dulu berupa Buni Agu Doumi atau semak-semak belukar. Di dalamnya ada tanaman tahunan serta Apayo Lripu, artinya kebun sagu milik negeri Buol di Dusun Marisa Doka dan Marisa Didi,” ungkap Sudarmin, Selasa (2/9), kepada sejumlah wartawan di Palu.Namun, katanya, sejak 1993 tanah tersebut diambil-alih secara paksa oleh PT. Hardaya Inti Plantations dengan menggunakan tangan aparat TNI, polisi, pemerintah kecamatan, dan pemerintah desa saat itu. Sekarang, lahan tersebut telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit, perkantoran, camp dan bangunan pabrik. | ['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'penelitian' 'politik'
'hewan terancam punah'] | [0.999988853931427, 5.725519713450922e-06, 5.467499249789398e-06] |
Hartati Murdaya Bebas, Petani Buol Protes | Perusahaan milik Hartati Murdaya juga katanya, telah melakukan penanaman kelapa sawit secara ilegal di luar HGU seluas kurang lebih 5.000 hektar dan telah berproduksi selama sepuluh tahun. Pada tanggal 4 November 2013, dalam pertemuan antara pemerintah Kabupaten Buol yang diwakili bupatinya, Amirudin Rauf, dan Forum Petani Buol, telah menetapkan bahwa lahan di luar hak huna usaha (HGU) PT. Hardaya Inti Plantations ditetapkan sebagai status quo dalam sebuah berita acara pertemuan yang turut ditanda-tangani DPRD Kabupaten, Kapolres Buol, Dandim 1305 Buol, serta para pihak lainnya.“Tapi, sampai sekarang, lahan tersebut masih aktif dikelola perusahaan PT. Hardaya Inti Plantations,” kata Sudarmin.Sudarmin menambahkan, berdasarkan surat Kementerian Kehutanan Direktorat Jenderal Planalogi Kehutanan yang mereka terima, perusahaan milik Hartati Murdaya ini telah melakukan pencaplokan kawasan hutan berdasarkan telaah ulang secara digital terhadap peta bidang HGU. Dalam telaahnya, perusahaan telah mencaplok kawasan hutan seluas 1.108 hektar.Menurutnya, PT. Hardaya Inti Plantations dalam HGU dan di luar HGU telah melakukan tindak pidana perkebunan sesuai dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.Nur Alim, dari Agra Sulawesi Tengah yang ikut mendampingi petani Buol menambahkan, perusahaan sawit milik Hartati Murdaya ini telah mengakibatkan bencana ekologi, yaitu banjir di musim penghujan bagi desa-desa bagian hilir Buol. Serta, menghasilkan debu yang luar biasa jumlahnya di sepanjang jalan yang dilalui kendaraan perusahaan itu.“Dampak sosialnya adalah konflik berkepanjangan antara petani dan perusahaan, dan juga telah mengadu domba antara petani dan buruh perusahaan sawit,” ujar Nur Alim. | ['iklim/cuaca' 'kebijakan'] | [1.0, 1.4414156535025313e-09, 1.3204033422198336e-09] |
Hartati Murdaya Bebas, Petani Buol Protes | Menurutnya lagi, ketika mereka meminta izin HGU milik perusahaan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak diberikan sama sekali samapai sekarang. Padahal, dokumen tersebut merupakan dokumen yang wajib diketahui publik. Dengan demikian, menurutnya, ada indikasi kolaborasi kejahatan antara BPN dan perusahaan.“Selain itu, dalam hitungan kasar kami, kehadiran perusahaan milik Hartati Murdaya telah menyebabkan kerugian petani sebesar Rp 100 miliar lebih. Berdasarkan kenyataan tersebut, pembebasan bersyarat kepada Hartati Murdaya telah melukai petani Buol,” tandasnya.Sebagaimana yang diketahui, Siti Hartati Murdaya divonis dua tahun delapan bulan penjara oleh Mejelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, 4 Februari 2013. Dia terbukti melakukan suap kepada mantan Bupati Buol Amran Batalipu sejumlah tiga miliar rupiah terkait izin usaha perkebunan kelapa sawit.Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio [SEP] | ['penyelamatan lingkungan' 'politik'] | [0.9994334578514099, 0.0002822732785716653, 0.0002842268440872431] |
Laporan: HSBC Diduga Terlibat Perusakan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi | [CLS] Dalam sebuah laporan yang baru saja diterbitkan oleh Environmental Investigation Agency (EIA) mengungkapkan aktivitas perbankan yang dilakukan oleh HSBC yang berkontribusi dalam perusakan hutan hujan tropis di Asia Tenggara, termasuk Indonesia melalui program pinjaman yang mereka berikan kepada sejumlah perusahaan kelapa sawit yang merusak habitat alami spesies-spesies langka dan dilindungi.Laporan ini juga menyebutkan bahwa HSBC telah melanggar komitmen ‘green‘ mereka dengan menempatkan orangutan dan sejumlah spesies lainnya dalam bahaya.Pinjaman ini termasuk bantuan finansial senilai 200 juta dollar AS kepada Bumitama Agri, sebuah perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Ketapang, Kalimantan Barat dan mengakibatkan sejumlah orangutan harus diselamatkan setelah habitat mereka dibuldoser oleh perusahaan ini. Empat individu orangutan yang berhasil diselamatkan bahkan nyaris tewas setelah mengalami kelaparan dan dua individu lainnya hilang.Dalam kasus lainnya, HSBC juga dituding telah memberikan bantuan senilai 470 juta dollar AS kepada Triputra Agro yang diduga telah membabat hutan di kawasan Lamandau, yang menjadi rumah bagi sejumlah owa dan spesies-spesies terancam lainnya. Ironisnya, HSBC sendiri memiliki komitmen internal dalam perusahaan mereka untuk tidak memberikan pinjaman kepada aktivitas yang terkait dengan penghancuran wilayah-wilayah yang bernilai konservasi tinggi.“Klien HSBC yang berjumlah 60 juta orang di seluruh dunia akan kaget melihat kenyataan bahwa perusahaan dengan kredibilitas setinggi itu dan dengan merk yang terpercaya ternyata mengambil keuntungan dari deforestasi dalam skala besar, meski banyak peroyek mereka sudah membangun pencitraan perusahaan yang berkelanjutan,” ungkap juru bicara EIA Jago Wadley dalam pernyataannya, | ['budidaya' 'iklim/cuaca' 'kebijakan' 'konflik' 'korupsi'
'penyelamatan lingkungan' 'perusahaan'] | [0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06] |
Laporan: HSBC Diduga Terlibat Perusakan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi | Namun, hal ini disanggah oleh pihak HSBC. “Kami adalah salah satu bank yang memperkenalkan kebijakan kehutanan, dimana dinyatakan bahwa kami tidak akan mendanai alihfungsi hutan dengan nilai konservasi tinggi untuk perkebunan,” ungkap perwakilan perusahaan tersebut yang tidak disebutkan identitasnya, seperti dilansir oleh IBTimes UK. “Dalam kasus kelapa sawit kami memiliki preferensi terhadap klien-klien yang melakukan sertifikasi dibawah skema RSPO.”RSPO atau Roundtable on Sustainable Palm Oil adalah lembaga yang mengatur proses produksi perusahaan-perusahaan kelapa sawit di dunia agar melakukan produksi yang sesuai dengan prinsip-prinsip ramah lingkungan dimana HSBC menjadi salah satu anggota Dewan Eksekutifnya. Sementara, RSPO sendiri kini banyak menerima protes dari lembaga-lembaga konservasi lingkungan karena dianggap tidak bergigi dan diilai sebagai sekedar upaya ‘greenwash’ atau pencitraan perusahaan-perusahaan kelapa sawit di dunia agar dinilai ramah lingkungan.“HSBC memang telah mengadopsi prinsip-prinsip ramah lingkungan, namun mereka menyerahkan tanggung jawab pelaksanaannya kepada pihak lain. Terlalu mudah bagi mereka untuk menyerahkan tanggung jawab kepada RSPO. Yang menjadi kekhawatiran kami adalah ini merupakan industri dimana mereka hanya berupaya memastikan bahwa produksi kelapa sawit terus berjalan,” ungkap Paul Newman dari EIA.Tak terima dinilai sebagai macan ompong, pihak RSPO pun menyanggah melalui juru bicara mereka. “Keanggotaan dan sertifikasi tidak sekedar komitmen kepada publik, namun hal ini dibuktikan dengan proses audit tahunan secara independen, serta serifikasi pihak ketiga terhadap prinsip-prinsip dan kriteris yang dietapkan RSPO. Setiap anggota yang tidak patuh terhadap peraturan ini akan menerima konsekuensi penilaian dari publik dan tekanan publik.” | ['energi' 'iklim/cuaca' 'penyelamatan lingkungan' 'pertanian' 'perusahaan'
'sampah'] | [0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606] |
Laporan: HSBC Diduga Terlibat Perusakan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi | Untuk membaca lebih lengkap laporan yang dirilis oleh EIA, silakan klik di link ini: http://www.eia-international.org/wp-content/uploads/EIA-Banking-on-Extinction-FINAL-lo-res.pdf [SEP] | ['energi' 'iklim/cuaca' 'mangrove' 'penyelamatan lingkungan' 'perusahaan'
'politik'] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
Pemerintah Sumsel Wacanakan Legalisasi Tambang Batubara Ilegal. Mengapa? | [CLS] Pernyataan Gubernur Sumatera Selatan [Sumsel] Herman Deru yang menginginkan legalisasi penambangan batubara ilegal di Kabupaten Muara Enim, dinilai sejumlah pegiat lingkungan bukan langkah tepat. Mengapa?Dikutip dari Kompas.com, Herman Deru menyatakan dirinya dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] tengah mendorong legalisasi tambang batubara rakyat di Kabupaten Muara Enim. Ditargetkan, keputusan itu rampung akhir 2020.Tujuannya, agar pertambangan tersebut dapat berjalan lebih aman dan memiliki standar keselamatan. Dengan begitu, peristiwa kecelakaan yang menewaskan 11 orang akibat longsornya lokasi penambangan pada 21 Oktober 2020 lalu, tidak terulang lagi.“Dalam prosesnya nanti, akan ada sebuah badan usaha, baik itu BUMN atau BUMD yang mengkoordinir aktivitas para penambang tersebut, sehingga semua dapat berjalan secara lebih aman dan memiliki standar keselamatan yang jelas,” kata Herman kepada wartawan yang dikutip Kompas, Jumat [6/11/2020].Baca: 11 Pekerja Tewas Tertimbun di Tambang Batubara Ilegal, Tidak Jauh dari PLTU Sumsel 8 Pius Ginting, Direktur Eksekutif AEER [Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat], menilai keputusan Herman Deru tersebut bukan langkah yang tepat.“Mengapa? Sebab industri batubara menimbulkan berbagai persoalan. Mulai kerusakan lingkungan, kesehatan dari penambangan, gangguan transportasi, hingga pemakaiannya. Masyarakat di Kabupaten Muara Enim memasuki ekonomi tambang batubara walau tak aman, karena tidak tersedia lapangan kerja yang layak dan aman,” kata Pius kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [07/11/2020].Selain itu, pelegalan dan perluasan tambang batubara mengakibatkan ketimpangan lahan. Dan warga yang tidak punya lahan, terdorong ke pekerjaan tidak aman. PLTU dan tambang batubara tidak bisa menyerap banyak tenaga kerja karena menggunakan alat berat berkapasitas besar. | ['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'perusahaan' 'politik'
'sawit'] | [0.9993699789047241, 0.00033445339067839086, 0.00029553149943239987] |
Pemerintah Sumsel Wacanakan Legalisasi Tambang Batubara Ilegal. Mengapa? | “Jadi, seiring pemanasan global, sebaiknya dilakukan moratorium perluasan tambang batubara dan pendirian PLTU. Bukan sebaliknya,” katanya.Pemerintah Sumsel seharusnya mencari atau mendatangkan investor energi terbarukan. “Sebab, bila tetap memperluas penggunaan batubara, industri yang punya konsumen sadar lingkungan ke depan berpotensi menjauhi Sumsel. Contohnya, aliansi perusahaan sekarang membentuk Powering Post Coal,” paparnya.Baca: Lamban Ganti Rugi Lahan, Penyebab Maraknya Penambangan Batubara Liar di Muara Enim? Energi terbarukanDr. Rabin Ibnu Zainal, Direktur PINUS [Pilar Nusantara] Sumsel, sebuah lembaga yang melakukan pemantauan terhadap batubara, menyatakan penjelasan Herman Deru tersebut belum jelas untuk kepentingan rakyat.“Jika disimak pernyataan tersebut, sepertinya Pemerintah Sumsel mau membuat semacam BUMD dan akan mengajukan IUP di wilayah tersebut. Hanya mekanisme BUMD ke penambang rakyat masih belum jelas, apakah akan di sub-kan atau menjadi pekerja kontrak BUMD tersebut,” kata Rabin kepada Mongabay Indonesia, Minggu [08/11/2020].Rabin juga menilai keinginan Herman Deru tersebut terkesan tidak selaras dengan target Sumsel, yang tercantum pada RPJPD [Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah] Sumsel 2005-2025 yang visinya “Sumatera Selatan Unggul dan Terdepan Tahun 2025.Point pertama dari misinya yakni, “Meningkatkan potensi sumber daya alam guna penyediaan sumber energi dan pangan berkelanjutan. Batubara bukan energi berkelanjutan,” terangnya.Baca: “Napas yang Terbunuh”, Kesedihan akibat Tambang Batubara Ilegal di Muara Enim Seperti diberitakan Mongabay Indonesia sebelumnya, pada 2019 lalu, Sumsel menjadi daerah percontohan energi terbarukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. | ['konflik' 'perusahaan' 'politik' 'sawit'] | [0.4948588013648987, 0.4965273141860962, 0.008613888174295425] |
Pemerintah Sumsel Wacanakan Legalisasi Tambang Batubara Ilegal. Mengapa? | “[Indonesia] sejatinya kaya sumber energi terbarukan. Sumatera Selatan, patut dicontoh karena berhasil memanfaatkan matahari dan limbah sekam padi jadi pembangkit listrik,” kata Agung Kuswandono, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa saat Kaji Banding PLTS dan PLTBm Sekam Padi di Palembang.Ada tiga pengelolaan sumber energi terbarukan di Sumsel. Pertama, PT. Buyung Poetra Sembada, yang mengelola sawah sekitar 200 hektar di Kabupaten Ogan Ilir [OI], menjadi pelopor pembangunan pembangkit listrik tenaga biomassa [PLTBm] sekam padi di Indonesia.Kedua, pembangkit listrik tenaga surya [PLTSa] Jakabaring. PLTSa ini mulai beroperasi guna memenuhi kebutuhan listrik di kawasan fasilitas olahraga Jakabaring Sport City Palembang saat Asian Games 2018. PLTSa Jakabaring yang memiliki kapasitas 2 MW merupakan PLTSa terbesar di Sumatera.Ketiga, sejak 2013 Pemerintah Sumsel sudah memiliki pembangkit tenaga gas alam [PLTG] compressed natural gas di Ogan Ilir berkapasitas 3x 18 MW.Baca juga: Kala Sumsel jadi Daerah Percontohan Pengembangan Energi Terbarukan Ancaman pandemi virusConie Sema, pegiat Teater Potlot, teater yang beberapa tahun terakhir mengusung isu ekologi menyatakan, “Keinginan Pemerintah Sumsel untuk melegalkan pertambangan batubara rakyat guna menyelamatkan jiwa para penambang, merupakan pilihan kurang tepat.”Sebab, pertambangan batubara yang masif justru lebih banyak berdampak pada kesehatan dan jiwa manusia. “Pertambangan batubara merupakan salah satu pemicu perubahan iklim global.”Seperti diketahui, rusaknya bentang alam seperti terbukanya hutan, serta perubahan iklim global, diyakini sebagai penyebabnya banyak penyakit baru atau serangan wabah virus mematikan.“Memperluas penambangan batubara sama saja kita membuka peluang kemungkinan hadirnya pandemi virus baru. Seharusnya, Pemerintah Sumsel fokus pada pengembangan energi terbarukan yang bersih,” ujarnya. [SEP] | ['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'budidaya' 'energi' 'kebijakan' 'konflik'
'lahan' 'perusahaan' 'politik' 'hewan terancam punah' 'sawit'] | [0.4948588013648987, 0.4965273141860962, 0.008613888174295425] |
Sidang Gugatan UU P3H, Pemerintah Dinilai Abai Fakta | [CLS] Pandangan pemerintah yang diwakili Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Hukum dan HAM dinilai normatif dan mengabaikan fakta di lapangan. Pemerintah juga coba membantah kriminalisasi masyarakat sekitar dan di dalam hutan dengan dalih ada pasal pengecualian. Padahal gugatan judicial review UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) ini muncul gara-gara sejak terbit hanya menyasar warga. Pasal pengecualian jerat hukum bagi masyarakat yang turun menurun berladang di kawasan hutan, tak pernah menjadi pertimbangan hakim.Andi Muttaqien, koordinator Tim Advokasi Anti Mafia Hutan, mengatakan, baik pemerintah maupun pemohon melihat kriminalisasi petani, masyarakat lokal dan adat harus dihindari.Sayangnya, dalil pengecualian dalam Pasal 11 ayat 4 seakan tak berfungsi dan tak terefleksi dalam pasal-pasal pemidanaan. Sejak UU P3H ada, sudah beberapa masyarakat yang tidak di dalam kawasan hutan terjerat, seperti empat warga Semende Agung di Bengkulu. Pengadilan memutus petani ini hukuman maksimal tiga tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar!“Di Bengkulu ini jelas-jelas masyarakat adat berladang tradisional yang dikecualikan UU ini, tapi juga kena. Pengecualian ini tidak terejawantahkan dalam pasal-pasal pemidanaan, jadi percuma,” katanya usai sidang gugatan UU P3H dengan agenda mendengarkan pandangan Presiden dan DPR di Mahkamah Konstitusi, Selasa (4/11/14). DPR tak hadir dalam sidang ini.Edo Rakhman, dari Walhi Nasional mengatakan, hak masyarakat terancam dengan UU ini. Dengan UU P3H, seakan pemerintah berupaya menghilangkan sekaligus tidak mengakui masyarakat adat.“Pemerintah tidak ingin ada komunitas adat hidup di kawasan hutan. Dengan UU ini masyarakat bisa setiap saat dikriminalisasi dan ditangkap. Karena mereka tinggal dan beraktivitas di kawasan hutan. Hidup memanfaatkan kawasan hutan.” | ['kebijakan' 'pertanian' 'perusahaan' 'politik' 'sawit'] | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
Sidang Gugatan UU P3H, Pemerintah Dinilai Abai Fakta | Pemerintah mengatakan, UU ini bisa mencegah kebakaran hutan. Menurut kami, sama sekali tidak masuk akal. “Ada UU ini kebakaran hutan makin menjadi, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Jawaban mereka sangat normatif. Tidak melihat fakta di lapangan. Tidak melihat komunitas adat sangat bergantung dan hidup dari hutan.”UU P3H, katanya, tidak memberikan manfaat berarti. UU ini, katanya, tak mampu menindak perusahaan yang nyata-nyata membakar hutan. Masyarakat terus menjadi korban.“Mereka tidak menyebut perusahaan, padahal perusahaan yang menebang di luar konsesi tidak dipidana. Masyarakat dijadikan sasaran.”Saat penyampaian pandangan dari Presiden itu, diwakili Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Hukum dan HAM. Pemerintah membacakan lebih dari 20 halaman pandangan terkait gugatan warga dan organisasi masyarakat sipil terhadap UU P3H dan UU Kehutanan.Dalam pandangan itu, Sony Partono, dirjen PHKA KLH dan Hut mengatakan, harus melihat landasan filosofis pembentukan UU P3H dan UU Kehutanan. “UU Kehutanan karena memandang hutan anugerah Tuhan yang tak ternilai. Harus dikelola dengan akhlak mulia demi pembangunan nasional berkesinambungan. Hutan harus dijaga. Negara sebagai pengelola bukan pemilik, tetapi membuat regulasi mengatur kejahatan kehutanan yang tertuang dalam UU.”Landasan filosofis UU P3H, karena perusakan hutan terus terjadi. Pemanfaatan hutan harus terencana dan bertanggung jawab. UU Kehutanan, katanya, belum efektif menindak kejahatan kehutanan. “UU P3H hadir. Tanpa bermaksud menyingkirkan masyarakat adat.” | ['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'konflik' 'krisis' 'lahan' 'perusahaan'
'politik' 'sawit' 'tambang'] | [0.9994583129882812, 0.00028047917294315994, 0.0002612548996694386] |
Sidang Gugatan UU P3H, Pemerintah Dinilai Abai Fakta | Mengenai gugatan pemohon untuk frasa “dalam kawasan hutan telah ditetapkan, ditunjuk, ataupun sedang diproses penetapan oleh pemerintah.” Frasa ini dianggap tidak memberikan kepastian hukum, karena menyamakan status hutan tetap dengan yang baru sebatas penunjukan. Menurut Sony, kawasan hutan sudah penetapan atau baru sebatas penunjukan tetap berlaku secara UU. “Kawasan hutan yang ditunjuk atau ditetapkan sebelum ada putusan MK 45 tetap memiliki kekuatan hukum. Jadi ini tidak bertentangan,” katanya.Terkait hak-hak masyarakat adat, katanya, pemerintah mengakui sesuai putusan MK 35. Masyarakat adat diakui sepanjang ada pengakuan dari pemerintah daerah. Masyarakat yang sudah lama tinggal di sekitar atau dalam kawasan hutan, mendapat pengecualian.Namun, katanya, dalam pelaksanaan hukum, pemerintah merujuk pasal 27 UUD 1945, bahwa semua warga memiliki kedudukan sama dalam hukum termasuk norma dalam UU P3H. “Semua pihak tanpa terkecuali bisa saja dijerat dengan UU ini. Termasuk masyarakat adat.”“Masyarakat tetap kita akomodir. Sepanjang diakui hak-hak oleh pemerintah daerah. Bedakan antara masyarakat asli dengan pendatang. Ini yang kita lindungi, masyarakat asli, yang bisa dibuktikan jelas asal-usul bukan dari daerah lain.”Sony mengatakan, UU P3H untuk menyasar kejahatan hutan korporasi. Dalam UU Kehutanan, pasal bisa menjerat korporasi dan perorangan. “UU P3H justru fokus korporasi. Kita prioritaskan ditangani,” katanya kepada wartawan usai sidang.Meskipun begitu, dia mengakui kalau belum ada satupun korporasi terjerat UU ini.Sebaliknya, lebih setahun ini, UU ini telah menjerat belasan warga biasa. Entah memang tak tahu atau apa, Sony membantah. Dia mengatakan, belum ada warga terjerat UU P3H. “Belum ada masyarakat adat kena. UU P3H belum kita perkenalkan. Pemilik modal yang kita sasar. Bukan masyarakat .” | ['budidaya' 'masyarakat desa' 'lahan' 'pertanian' 'trivia'] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
Sidang Gugatan UU P3H, Pemerintah Dinilai Abai Fakta | Menurut dia, UU P3H akan menjerat pelaku perorangan setelah diteliti kemungkinan ada keterkaitan dengan korporasi. “Bisa jadi, perorangan melakukan kerusakan hutan, didanai korporasi.”Pemerintah berharap, MK menolak seluruh gugatan ini.Sidang lanjutan pekan depan penggugat akan menghadirkan saksi warga dan ahli. “Kami akan hadirkan ahli hukum pidana, masyarakat adat, antropologi hukum, sampai administrasi peradilan,” kata Andi. [SEP] | ['lahan' 'trivia'] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
Apakah Ada Kunang-kunang Laut? | [CLS] Malam hari, ketika melewati jembatan panjang di Pulau Papan yang terkenal di Taman Nasional Kepulauan Togean, Tania melihat titik-titik menyala dan bergerak di permukaan air laut. Titik menyala itu terlihat mencolok, karena bercahaya dan berkerlap-kerlip.Perempuan lulusan biologi dari Universitas Negeri Gorontalo itu bertanya, apakah itu sejenis hewan laut atau bukan.“Itu adalah kunang-kunang laut,” jawab seorang penduduk lokal, yang mengikutinya dari belakang.Sehari sebelumnya, pertengahan Januari 2023, ketika menaiki perahu tanpa cadik di malam hari, Tania juga melihat pemandangan serupa. Hewan-hewan kecil itu menyala hingga meninggalkan buritan perahu. Tubuh mereka seperti memiliki lampu.“Cahanya kebiruan,” terangnya.Baca: Gemerlap Kunang-kunang, Pesona Wisata Malam Rammang-Rammang Benarkah ada kunang-kunang di laut?Di Toba City, Taman Nasional Ise Shima, Jepang, melihat kunang-kunang laut merupakan tujuan utama. Masyarakat di sana menyebutnya umi hotaru, yang berarti kunang-kunang laut [sea fireflies].Dalam berbagai publikasi ilmiah, kunang-kunang laut juga disebut ostracoda. Dilansir dari science.org, terdapat 150 spesies kunang-kunang luat. Dari jumlah tersebut, dua di antaranya yang banyak dikenal karena cahanya, yaitu Vargula hilgendorfii dan Cypridina hilgendorfii.Sebuah publikasi ilmiah menyebut bahwa ostracoda, terutama untuk jenis Vargula hilgendorfii mampu menghasilkan cahaya terangnya karena mengeluarkan oksidasi luciferin dan luciferase; senyawa imidazopyrazine, oksigen molekuler yang dikatalisis oleh luciferase. Mekanisme dari enzim inilah yang membuat cahaya keluar, seperti berwarna biru di laut pada malam hari. | ['Aparatur Sipil Negara' 'budidaya' 'inovasi' 'pendanaan' 'perdagangan'
'pertanian' 'trivia'] | [0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606] |
Apakah Ada Kunang-kunang Laut? | Bagi para peneliti, ostracoda termasuk hewan yang aneh. Ukuran tubuhnya sangat kecil bahkan tidak lebih besar dari biji wijen. Jika di darat kunang-kunang termasuk jenis serangga, maka kunang-kunang laut ini masuk kelompok krustasea dan memiliki cangkang seperti jenis kerang-kerangan, mirip udang atau kepiting. Seringkali, tidak memiliki insang.Baca juga: Meski Dilindungi, Hewan Berdarah Biru Ini Masih Diburu Perilaku unikSeperti banyak makhluk laut lain, sejumlah ostracoda memanfaatkan bioluminesensi untuk menghindari predasi [serangan predator] dan juga menarik pasangan. Hal inilah yang menarik perhatian para peneliti yang dipimpin Nicholai Hensley dari Universitas California Santa Barbara, dengan judul risetnya “Phenotypic evolution shaped by current enzyme function in the bioluminescent courtship signals of sea fireflies” yang diterbitkan di jurnal The Royal Society [2019].Penelitian tersebut mempelajari perilaku kawin kunang-kunang laut dan menemukan bahwa evolusi salah satu aspek dalam fenotipe [penampilan fisik dan perilaku], yaitu durasi pancaran cahayanya [saat kawin] dibentuk oleh fungsi biokimia.Ternyata, cahaya-cahaya itu keluar karena merupakan pertanda terdapat ancaman dan juga merupakan isyarat untuk menarik pasangannya, hingga membentuk cahaya yang berputar.Beberapa hal yang ditemukan peneliti adalah produksi cahaya dari bioluminesensi yang terinduksi pada 38 spesies. Mereka menemukan perbedaan antara spesies dalam reaksi biokimianya. Kemudian untuk 16 spesies yang telah diteliti, menunjukkan bahwa perbedaan dalam reaksi biokimia berkorelasi non-linier dengan durasi signal atau masa pacaran dari kunang-kunang laut.“Hubungan ini menunjukkan, perubahan pada fungsi dan penggunaan enzim [yang menghasilkan cahaya] telah membentuk evolusi tampilan masa kawin, tetapi mereka secara berbeda berkontribusi pada perubahan fenotipik ini,” tulis para peneliti. | ['budidaya' 'pertanian' 'trivia'] | [0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608] |
Apakah Ada Kunang-kunang Laut? | Bagi peneliti, perilaku kawin kunang-kunang laut beragam dan patut diperhatikan.“Dengan mempelajari bagaimana perbedaan perilaku kawin antara spesies, dapat membantu kita memahami bagaimana keanekaragaman dihasilkan pada berbagai tingkat biologis,” tulis peneliti. [SEP] | ['penelitian' 'hewan terancam punah'] | [0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623] |
Temuan Studi: Sawit Penyebab Utama Kerusakan Lahan Gambut Kalimantan | [CLS] PARA pengembang di Kalimantan, Indonesia, meningkatkan konversi di lahan gambut untuk perkebunan sawit. Kondisi ini mendorong perusakan hutan dan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Demikian laporan sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences. Penelitian ini menyimpulkan, dengan melihat tren saat ini, hampir semua hutan tak lindung di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, akan hilang pada 2020.Penelitian, yang dipimpin oleh Kim Carlson dari Yale dan Stanford University, berdasarkan pada survei sosial ekonomi yang komprehensif, citra satelit resolusi tinggi dan pemetaan karbon dari Ketapang. Di mana daerah ini merupakan rumah bagi beberapa hutan dengan keanekaragaman hayati di planet ini termasuk Taman nasional Gunung Palung.Carlson dan rekan-rekannya menemukan, pada 1994-2001, untuk konversi, para pengembang fokus di hutan dataran rendah, lalu fokus lahan gambut. Pada 2008, hampir 70 persen dari perkebunan baru ada di lahan gambut,hingga memacu emisi karbon dioksida yang cukup besar. Penelian-penelitian menunjukkan sampai 90 persen emisi dari perkebunan sawit berada di lahan gambut tahun 2020.Temuan ini tepat waktu karena industri minyak sawit Malaysia dan Indonesia saat ini tersangkut kasus dengan US Environmental Protection Agency (EPA)—yang menganggap emisi karbon untuk produksi minyak sawit terlalu tinggi. Dalam kesimpulan EPA, sawit berbasis biodiesel tidak akan cukup mengurangi emisi dibanding bahan bakar konvensional. EPA mengasumsikan, sembilan persen minyak sawit dari Malaysia dan 13 persen dari Indonesia diproduksi di lahan gambut. Studi baru menunjukkan, pengembangan sawit di masa depan mungkin terkonsentrasi di lahan gambut. Ini meningkatkan jejak karbon dari sawit, hingga mematahkan protes kalangan industri ini. | ['penelitian' 'hewan terancam punah'] | [4.426556643011281e-06, 7.228185495478101e-06, 0.9999883770942688] |
Temuan Studi: Sawit Penyebab Utama Kerusakan Lahan Gambut Kalimantan | Temuan-temuan ini juga signifikan karena Indonesia telah berjanji melindungi lahan gambut melalui komitmen mengurangi emisi gas rumah hijau. Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun lalu menetapkan penghentian konsesi baru di lahan gambut. Tindakan awal, dengan melarang konversi lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter atau 10 kaki. “ “Mencegah pembentukan minyak sawit di lahan gambut akan menjadi penting bagi setiap strategi pengurangan emisi gas rumah kaca,” kata Carlson dalam sebuah pernyataan.Keseluruhan temuan riset, menyebutkan, sebagian perkebunan sawit di Ketapang dikembangkan di lahan gambut sampai 2011. Untuk mengendalikan emisi dari ekspansi sawit, para penulis berpendapat, Ketapang perlu melindungi kayu dan hutan yang ditebangi serta mencegah kebakaran lahan pertanian. Meski begitu, menurut penelitian, konversi 280.000 hektare dari satu juta hektare tanah masyarakat tahun 2020 hampir tak terelakkan. Kasus yang paling mungkin adalah 35 persen dari seluruh lahan masyarakat akan dibuka sawit dalam tahun 2020.“Sayangnya perlindungan hutan dan lahan gambut tidak secara otomatis menghasilkan manfaat bagi masyarakat setempat,” kata anggota tim peneliti, Lisa Curran, profesor antropologi di Universitas Stanford. “Untuk menjadi benar-benar berkelanjutan, perusahaan sawit tidak hanya harus melindungi hutan dan cadangan karbon, tetapi harus memastikan setiap tanah yang diperoleh dari petani kecil dan penduduk memenuhi kriteria untuk persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan, serta kompensasi yang adil dan transparan.”Carlson menambahkan, penelitian penting menggabungkan dampak perluasan perkebunan sawit dan konversi hutan terhadap masyarakat lokal. “Awalnya kami memutuskan memasukkan orang dalam penilaian kami,” kata Carlson. “Penduduk setempat dan tanah mereka sering terlupakan dalam pembahasan tentang hutan.” [SEP] | ['iklim/cuaca' 'lahan' 'penelitian' 'hewan terancam punah'] | [0.016374895349144936, 0.019575536251068115, 0.9640495181083679] |
Melihat Masa depan Panglima Laot di Aceh | [CLS] Hukum adat merupakan perangkat penting dari kepercayaan, tradisi yang menyuburkan nilai-nilai dan praktek bijak masa lampau. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 B Bab IV Perubahan ke-2 menyatakan ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.Panglima Laot merupakan salah satu institusi hukum adat tertua, memperoleh legitimasi UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, menyusul Qanun Nomor 9/2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Nomor 10/2008 tentang Lembaga Adat.Hukum adat laot Aceh mengatur berbagai hal terkait aktivitas di sektor kelautan. Mulai dari penerapan batasan wilayah, hari pantang melaut, pelestarian lingkungan, pelaksanaan ritual, relasi sosial dan ketentuan lain.Panglima Laot, memiliki tugas menegakkan aturan adat laot dan memberikan sanksi bagi pelanggar. Sanksi dapat berupa penyitaan hasil tangkapan hingga membayar denda dan pelarangan melaut untuk jangka waktu tertentu.Panglima Laot dianggap sebagai salah satu sistem adat yang paling lestari di Nusantara. Sejumlah publikasi menyebutkan bagaimana peran penting Panglima Laot hingga kini.Sayang, tidak cukup banyak rujukan yang mengurai tantangannya. Bahasan mengenai Panglima Laot berkisar pada keagungan sejarah, muatan hukum tata kelola sumber daya sistem tersebut semata. Padahal, terlepas dari peran penting Panglima Laot, tersingkap sejumlah tantangan. Melacak Asal Mula Panglima LaotPanglima laot bermula pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Kerajaan Islam Aceh (1607-1636). Kala itu, Panglima Laot bertugas memobilisasi masyarakat pesisir untuk berperang serta memungut biaya cukai pada kapal-kapal yang singgah di pelabuhan. | ['energi' 'inovasi' 'kebijakan' 'penelitian' 'penyelamatan lingkungan'
'trivia'] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
Melihat Masa depan Panglima Laot di Aceh | Pada masa setelah kemerdekaan diraih, tugas dan peran Panglima Laot beralih sebagai pemimpin adat dan mengatur kebiasaan yang berlaku dibidang penangkapan ikan di laut, termasuk mengatur wilayah penangkapan, penambatan perahu dan penyelesaian konflik.Seiring waktu, Panglima Laot mengalami perubahan. Secara tradisional masyarakat Aceh hanya mengenal Panglima Laok Lhok atau wilayah pesisir pantai, dimana nelayan berdomisili dan melakukan usaha penangkapan ikan. Lhok merujuk pada satu desa pantai, beberapa desa (kemukiman) satu kecamatan atau satu kepulauan. Panglima Laot Kabupaten kemudian terbentuk saat musyawarah Panglima Laot se-Aceh di Kota Langsa tahun 1982. Struktur baru tersebut dimaksudkan memudahkan koordinasi dan penyelesaian sengketa antar Lhok.Pada tahun 2000, lewat pertemuan Panglima Laot di Kota Sabang dan Banda Aceh, Panglima Laot Provinsi juga dibentuk. Panglima Laot, Tantangan dan Perannya dalam Konteks Kekinian Namun, nyatanya, di beberapa wilayah (Lhok) pelaksanaan hukum adat dan peran Panglima Laot tidak berjalan seperti seharusnya. Pengetahuan mengenai hukum adat laot kian tergerus, khususnya di generasi yang lebih muda. Tanggung jawab yang diemban Panglima Laot tidak disokong kapasitas yang setara.Dahulu, posisi Panglima Laot dipegang oleh figur yang memiliki karisma, wawasan dan pengetahuan mumpuni di bidang kelautan. Belakangan ini Panglima Laot tidak lagi selalu dijabat pemimpin representatif.Dengan kapasitas yang tidak memadai, tidak mudah bagi Panglima Laot untuk menjalankan fungsi sebagaimana diharapkan. Akibatnya, berbagai pelanggaran atas hukum adat, misalnya penangkapan dan penggunaan alat tangkap yang destruktif, lumrah terjadi. | ['penelitian' 'trivia'] | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
Melihat Masa depan Panglima Laot di Aceh | Secara kelembagaan, Panglima Laot tidak mendapatkan akses yang cukup untuk membangun kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dari sisi pembiayaan. Tidak ada alokasi anggaran khusus untuk Pemangku Adat Panglima Laot maupun pengelolaan lembaga, dari Lhok sampai Kabupaten.Umumnya kebutuhan operasional Panglima Laot mengandalkan pungutan bersumber dari nelayan yang bergantung pada hasil tangkapan musiman. Tidak jarang bahkan biaya harus dipenuhi sendiri oleh Panglima Laot sendiri. Tentu saja tidak mudah bagi sebagian Panglima laot yang juga hidup dalam keterbatasan. Akibatnya, jabatan Panglima Laot tidak menarik bagi mereka yang berkecukupan.Tantangan lain berkaitan dengan ketidakjelasan batasan wilayah tangkapan dan kelola antar lhok maupun batas antara wilayah adat dan batas administratif pemerintah. Saat ini nelayan dinilai bebas menangkap ikan di mana saja di seluruh perairan Aceh. Sementara dari konteks penyelesaian sengketa, nelayan tersebut akan berhadapan dengan Panglima Laot setempat di wilayah sengketa terjadi. Mencermati sejumlah tantangan tersebut, dibutuhkan upaya serius memperkuat kelembagaan Panglima Laot dan mengembalikan peran dan fungsinya sebagai bagian dari struktur adat untuk memimpin pelaksanaan hukum adat laut.Selain itu, butuh kejelasan peran dan fungsi Panglima Laot Kabupaten dan Provinsi dalam koordinasi lembaga adat laot dan pemerintah. Penguatan kelembagaan juga berkaitan dengan internalisasi Qanun Nomor 9/2008 tentang Pembinaaan Adat Istiadat dan Qanun Nomor 10/2008 tentang Lembaga Adat kepada Nelayan. | ['penelitian' 'hewan terancam punah' 'trivia'] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
Melihat Masa depan Panglima Laot di Aceh | Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan ekonomi kelembagaan dan aparatur Panglima Laot mutlak dibutuhkan, agar Panglima Laot dapat melaksanakan fungsinya secara optimal. Guna mendukung pengawasan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan dibutuhkan kerjasama antara Panglima Laot dengan Pemerintah terkait kejelasan batas wilayah dan pembagian peran dalam fungsi pengawasan terhadap pelarangan berbagai aktivitas yang merusak.Sejatinya, kebijakan dan program kelautan-perikanan berkelanjutan harus turut mengungkit kapasitas Panglima Laot, nelayan dan masyarakat pesisir. Panglima Laot semestinya ditempatkan sebagai mitra Pemerintah, tidak saja pada aspek pengawasan, namun dalam ranah perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program secara keseluruhan.Demikian, pengakuan Panglima Laot seyogyanya dilekatkan juga dengan kebijakan pendanaan.Tanpa upaya sunggguh-sungguh memperkuat Panglima Laot, sulit mengharapkan institusi ini memberi andil atas tata kelola laut. Bukan mustahil, kelak hanya ada sebagai formalitas semata! * Ina Nisrina (Senior Coordinator Aceh) dan Suryani Amin (Knowledge Management Coordinator) pada Wildlife Conservation Society Indonesia Program. Isi artikel ini merupakan tanggung jawab penulis [SEP] | ['iklim/cuaca' 'pendanaan' 'penelitian' 'trivia'] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
Batik Mangrove, Cara Baru Eksploitasi Hutan Bakau | [CLS] Sekitar tahun 2007, pasca reformasi, masyarakat sekitar kota Surabaya membalak secara liar hutan mangrove di kawasan pantai timur Surabaya (Pamurbaya), Jawa Timur. Pembalakan itu bahkan sampai merusak sekitar 10 hektar hutan bakau di sepanjang bibir pantai dan muara Kali Saridamen, Kecamatan Mulyorejo, Kecamatan Wonorejo, serta di pesisir utara Surabaya. Bahkan, sekitar 100 ribu pohon yang berfungsi untuk menangkal abrasi air laut itu sudah dipotong berkeping-keping.Melihat kondisi itu, Lulut Sri Yuliani, merasa sedih. Sebagai seorang pendidik, dia tahu hutan bakau berfungsi penting menjadi sabuk pelindung pesisir dan pemukiman masyarakat dari paparan ombak dan tsunami.Kerusakan mangrove itu membuat mantan guru bahasa jawa itu berpikir bagaimana menyelamatkan dan melestarikan kembali hutan mangrove yang dulu rimbun dan asri.Lulut bersama masyarakat memulai gerakan penyelamatan mangrove dengan menanam kembali kawasan yang gundul dengan mangrove sejenis. Namun upayanya itu diakui tidak dapat secara langsung memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi, serta mampu menggerakkan masyarakat untuk terlibat aktif menyelamatkan lingkungan.Masih banyaknya masyarakat yang memanfaatkan mangrove secara kurang tepat, menjadikan Lulut harus mencari cara lain untuk mengubah paradigma masyarakat yang keliru.Gerakan penyelamatan mangrove juga dilakukan dengan mengajak masyarakat menjaga aliran sungai yang terhubung dengan hutan mangrove, seperti mengajak untuk tidak membuang sampah sembarangan ke sungai, mengurangi pemakaian sabun detergen dan menggantinya dengan sabun yang lebih ramah lingkungan, hingga pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis tanpa harus merusak lingkungan atau ekosistem hutan mangrove. | ['nelayan' 'pendanaan' 'penelitian' 'hewan terancam punah' 'trivia'] | [0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608] |
Batik Mangrove, Cara Baru Eksploitasi Hutan Bakau | “Kami mengajak masyarakat untuk ikut menangkal ombak dengan menanami kembali hutan mangrove yang rusak, juga memberdayakan masyarakat dengan menggunakan ragam hayati di sekitar sungai tanpa harus merusak lingkungan sekitarnya,” kata Lulut kepada Mongabay.Pemberdayaan masyarakat dengan menjaga dan melestarikan mangrove, namun tetap dapat memperoleh manfaat dari mangrove, merupakan cara mengajak masyarakat mengubah pola pikir untuk menjaga lingkungan disekitarnya. Tanpa mengubah pola pikir, mustahil bagi dirinya untuk dapat menjaga hutan mangrove yang rawan dirusak kembali.“Target kita bukan luasannya hutan mangrove yang diselamatkan, tapi justru target manusianya. Kalau satu orang mengerjakan sepuluh hektar, tapi kalau hanya berpangku pada satu orang saja maka nanti tambahnya hanya sepuluh hektar. Tapi kalau SDM-nya dibangun, maka perbaikan di Indonesia bahkan dunia akan lebih cepat. Percuma kalau kita menanam tapi kemudian oleh orang lain dirusak,” paparnya.Melalui mangrove atau dalam bahasa latin rhizophora, dia mengenalkan batik mangrove, yaitu dengan mangrove sebagai pewarna alami batik yang ramah terhadap lingkungan. Lewat batik mangrove pula, Lulut berhasil memberdayakan banyak orang untuk terlibat dalam upaya konservasi dan pelestarian lingkungan, khususnya hutan mangrove, seperti di wilayah Kecamatan Wonorejo, Gununganyar, Keputih dan sekitarnya.“Kita buat produk yang concern ke konservasi, baik di mangrove maupun di hutan pegunungan, jadi kita memang concern ke lingkungan. Dengan membangun lingkungan kita mau menunjukkan bahwa masyarakat juga bisa sejahtera, melalui kepedulian dengan lingkungan. Selain itu apa yang kita lakukan aman tidak perlu konflik,” ujar penerima penghargaan Kalpataru untuk kategori perintis lingkungan pada 2011 itu. | ['masyarakat desa' 'lahan' 'pendanaan' 'trivia'] | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
Batik Mangrove, Cara Baru Eksploitasi Hutan Bakau | Meninggalkan profesi semula sebagai seorang pendidik, Lulut merintis pembuatan batik mangrove, yang didesain khusus sesuai semangat perjuangan yang dibawanya. Dengan mendirikan Batik SeRu atau seni Batik Mangrove Rungkut Surabaya, dan juga Koperasi Usaha Kecil Menengah (UKM) Griya Karya Tiara Kusuma yang bertujuan untuk mempromosikan dan mendistribusikan produk-produk mangrove yang dihasilkan oleh warga setempat, Lulut ingin mangrove menjadi ikon baru Kota Surabaya yang dikenal masyarakat luas.“Batik ini satu-satunya batik ikon lingkungan, kita harap ini menjadi unggulan dari daerah dan memunculkan banyak orang untuk melakukan hal yang sama, tapi tidak menjiplak,” kata Ketua Forum Peduli Lingkungan (FPL) Kecamatan Rungkut di tahun 2007 itu.Saat ini motif batik di tempatnya telah ada sebanyak 2.017 pakem, yang dari pakem itu diharapkan akan muncul ribuan desain batik bertema lingkungan. Dengan menggunakan sistem manajemen lima jari-jari, Lulut berharap bahwa batik yang dibuat tidak sekedar untuk dijual, melainkan juga untuk konservasi lingkungan.“Batik mangrove bukan sekedar bikin batik terus dijual, tapi harus untuk limgkungan, untuk konservasi. Karena semua penjualannya untuk konservasi, semua labanya untuk pengembangan riset, pemberdayaan masyarakat, dan untuk konservasi,” tandasnya.Setiap orang yang bergabung dengan Komunitas Batik SeRu miliknya, diwajibkan menanam mangrove. Hal ini untuk membuktikan kecintaan orang tersebut pada lingkungan. Batik yang terjual dilengkapi dengan sertifikat, yang hanya dikeluarkan satu desain untuk satu pembeli. Dengan membeli batiknya, pembeli juga ikut menanam satu pohon mangrove.“Kalau orang mengaku, tapi tidak mampu menunjukkan sertifikasi batik mangrove, dan tidak bisa menunjukkan berapa laba yang diberikan untuk konservasi, pengembangan, dan riset, maka itu palsu,” kata Lulut. | ['Aparatur Sipil Negara' 'budidaya' 'masyarakat desa' 'lahan' 'pendanaan'
'pertanian' 'trivia'] | [0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623] |
Batik Mangrove, Cara Baru Eksploitasi Hutan Bakau | “Orang yang mengerjakan batik mangrove ini harus cinta lingkungan, kalau dia tidak cinta maka dia akan merusak. Makanya batik mangrove tidak menggunakan bahan kimia. Kalau bahannya kimia, itu bisa memicu kanker kulit,” terangnya.Pemberdayaan MasyarakatSelain Batik Mangrove, pemanfaatan mangrove beserta produk yang dihasilkan juga dapat dijadikan modal dasar pemberdayaan masyarakat. Masyarakat dapat memanfaatkan mangrove mulai dari daun, batang, akar, hingga buahnya menjadi produk yang dapat mendatangkan nilai ekonomis.Mangrove sendiri kata Isroi Yati, salah satu kader lingkungan anggota Komunitas batik SeRu, dapat dimanfaatkan menjadi beraneka macam produk, seperti produk makanan, minuman, perlengkapan rumah tangga, pengganti bahan bakar, serta pewarna dan motif batik.Butuh waktu 15 tahun untuk memberdayakan masyarakat di Pamurbaya yaitu 3 tahun jadikan pengusaha, 3 tahun selanjutnya pembinaan kampung unggulan, 3 kemudian kawasan unggulan, 3 tahun sesudahnya menjadi unggulan daerah setempat.“Bisa untuk makanan, bisa juga untuk minuman. Bisa dibuat kue, stik, bakery (roti), tempe. Bisa juga dibuat untuk sabun, pembersih lantai. Limbahnya dipakai untuk pewarna batik. Ampasnya bisa untuk pengganti bahan bakar, atau briket. Semua itu bisa dijual,” kata Isroi, kader lingkungan asal Kedung Asri, Surabaya.Isroi mengaku awalnya tidak mengetahui manfaat mangrove. Namun dengan adanya informasi dan pemberian pengetahuan dari Lulut serta kader lingkungan lainnya, dirinya semakin mengetahui manfaat mangrove dan serta olahan yang dapat dibuat dari produk mangrove.“Seperti sirup mangrove itu selain rasanya yang manis seperti madu, juga mengandung banyak vitamin C yang berguna untuk nutrisi kulit. Saya pernah panas dalam parah, tenggorokan sakit, setelah minum sirup mangrove alhamdulillah sembuh dalam 2 hari,” katanya. | ['masyarakat desa' 'pendanaan' 'perusahaan' 'sawit'] | [0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623] |
Batik Mangrove, Cara Baru Eksploitasi Hutan Bakau | Daun dan ragi dari mangrove juga dapat digunakan untuk membuat tempe, yang hasilnya berbeda dari tempe pada umumnya. Selain rasa yang berbeda, tempe dari mangrove diyakini kaya akan vitamin serta nutrisi dari produk hasil laut.“Kalau tempe, gurihnya itu lebih nyes, karena disitu ada kandungan garam, vitamin dari hewan laut seperti ikan dan udang. Jadi lebih gurih dan lebih awet,” tambahnya.Lulut menambahkan, pemberdayaan masyarakat melalui mangrove ini diyakini akan dapat memperbaiki ekosistem hutan mangrove yang banyak rusak akibat perbuatan manusia. Selain memberdayakan masyarakat, kesadaran untuk ikut menjaga lingkungan dalam hal ini ekositem hutan mangrove, akan dapat menularkan gerakan peduli pelestarian lingkungan di daerah-daerah lain.“Ini kami sosialisasikan pula ke luar Surabaya, seperti Malang, Pasuruan, Jember, Mojokerto, Madura, bahkan juga di luar pulau seperti Kalimantan. Harapannya mangrove kita terjaga dan lestari, sementara masyarakat tetap dapat memperoleh manfaat secara ekonomis dari gerakan peduli lingkungan ini,” pungkas Lulut yang mentargetkan 25 tahun kedepan kerusakan ekosistem hutam mangrove sudah tidak ada lagi. [SEP] | ['masyarakat desa' 'konflik' 'perdagangan' 'pertanian' 'perusahaan'
'hewan terancam punah' 'sawit'] | [0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606] |
Apakah Pembangunan Poros Maritim Sudah Sukses? | [CLS] Perayaan Hari Maritim Nasional, tiga hari lalu, 21 Agustus 2018, menjadi momen penting bagi Indonesia untuk mengevaluasi sejauh mana fokus Porom Maritim yang dibawa kepemimpinan Presiden Joko Widodo sudah berjalan. Dalam empat tahun terakhir, Poros Maritim menjadi tumpuan masyarakat pesisir untuk mengembangkan dirinya.Tetapi, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memberi penilaian khusus untuk kinerja Poros Maritim dan menyimpulkan bahwa periode kepemimpinan Joko Widodo dan wakilnya Jusuf Jalla, dianggap gagal mensejahterakan masyarakat pesisir Indonesia.Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati di Jakarta, Selasa (21/8/2018) mengatakan, dalam melaksanakan poros maritim dunia, ada lima pilar yang selalu menjadi pijakan Indonesia dalam bekerja. Kelimanya, adalah (1) membangun kembali budaya maritim Indonesia, (2) menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama, dan (3) memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, deep sea port, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim.Kemudian, Susan menyebutkan, pilar berikutnya atau keempat yang menjadi pijakan, adalah penerapan diplomasi maritim melalui usulan peningkatan kerja sama di bidang maritim dan upaya menangani sumber konflik, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut dengan penekanan bahwa laut harus menyatukan berbagai bangsa dan negara dan bukan memisahkan.“Untuk terakhir atau kelima, yaitu membangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggung jawab menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim,” tutur dia.baca : KNTI : Poros Maritim, Masih Belum Jelas Hingga Sekarang | ['Aparatur Sipil Negara' 'lahan' 'pendanaan' 'pertanian' 'perusahaan'
'politik' 'sawit'] | [0.007555732037872076, 0.46857914328575134, 0.5238651633262634] |
Apakah Pembangunan Poros Maritim Sudah Sukses? | Menurut Susan, pilar yang menjadi pijakan dalam melaksanakan pembangunan poros maritim dunia di Indonesia, sudah berjalan sejak Jokowi memimpin Negeri ini empat tahun lalu. Tetapi, selama itu pula, Indonesia hanya dijadikan sebagai sub narasi One Belt One Road (OBOR) Tiongkok. Kinerja tersebut, menjelaskan bahwa kepemimpinan Jokowi gagal mewujudkan Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia.“Indonesia harus melayani kepentingan ekonomi-politik Pemerintah Tiongkok. Di sisi lain, Pemerintah juga semakin memperlihatkan keberpihakannya kepada investor,” ungkapnya.Bukti bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi lebih banyak berpihak ke investor, Susan mengungkapkan, banyak proyek yang dilaksanakan dengan dalih untuk meningkatkan daya saing Indonesia di dunia internasional. Kenyataannya, proyek-proyek tersebut hanya sebagai pembungkus saja untuk memuluskan jalan keberpihakan kepada para pemilik modal.Adapun, proyek-proyek yang dibangun dengan dalih untuk meningkatkan daya saing Indonesia, di antaranya proyek reklamasi, proyek destinasi wisata baru, konsesi tambang di pesisir, serta berbagai proyek lainnya yang berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir. Di saat yang sama, kesejahteraan masyarakat pesisir justru berjalan di tempat dan itu menjadi kabar buruk bagi masyarakat pesisir.baca juga : Begini Kampanye Kebijakan Kelautan Indonesia untuk Wujudkan Indonesia Negara MaritimSusan menambahkan, selama empat tahun Jokowi memimpin Indonesia, sebanyak 38 wilayah pesisir di Indonesia sudah menjalani proses reklamasi. Proyek yanga sudah berjalan itu, pada kenyataannya memunculkan permasalahan karena ada lebih dari 700 ribu keluarga nelayan yang terdampak dan terpaksa kehilangan wilayah tangkapan ikan. | ['Aparatur Sipil Negara' 'kebijakan' 'lahan' 'perusahaan' 'politik'
'sawit'] | [0.4948588013648987, 0.4965273141860962, 0.008613888174295425] |
Apakah Pembangunan Poros Maritim Sudah Sukses? | Selain proyek reklamasi, Susan menyebutkan, masyarakat pesisir di Indonesia juga menderita oleh proyek pertambangan pesisir dan proyek pariwisata pesisir serta pulau-pulau kecil yang saat ini tengah dikembangkan oleh pemerintah melalui proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Untuk proyek tambang, sebanyak 32 ribu keluarga nelayan menjadi terdampak.“Sementara itu, proyek pariwisata pesisir dan pulau-pulau kecil yang merampas ruang hidup, menjadi ancaman setidaknya bagi satu juta keluarga nelayan di Indonesia. Kesimpulannya, setelah empat tahun poros maritim, masyarakat pesisir di Indonesia tak lebih sejahtera. Sebaliknya, mereka semakin kehilangan ruang hidup akibat kebijakan pembangunan,” tandasnya.menarik dibaca : Negara Tidak Hadir di Tengah Masyarakat Pesisir? Labuan BajoSalah satu contoh kebijakan yang sudah merugikan masyarakat pesisir, adalah Peraturan Presiden No.32/2018 tertanggal 5 April 2018 tentang Badan Otoritas Pengelola Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores. Perpres tersebut menjadi yang ketiga setelah BOP Danau Toba di Sumatera Utara, dan BOP Borobudur Jawa Tengah.Tak cukup disitu, Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA Parid Ridwanuddin memastikan, Presiden masih akan menerbitkan Perpres yang sama untuk BOP Wakatobi dan BOP Bromo Tengger Semeru. Khusus untuk BOP yang ada di wilayah pesisir, dia menyebut bahwa pembentukan BOP menjadi catatan negatif karena itu sama saja dengan merampas ruang hidup masyarakat yang ada di kawasan pesisir.Parid mengatakan, di dalam Perpres 32/2018 Pasal 2 ayat 2 dan ayat 3, disebutkan bahwa BOP Kawasan Labuan Bajo Flores akan menguasai wilayah paling sedikit hingga mencapai 400 hektar, yang diantaranya meliputi Desa Gorontalo seluas 83 hektar dan Desa Nggorang seluas 83 hektar. Keduanya terletak di kecamatan Komodo.baca : Badan Otoritas Pariwisata Labuan Bajo Ditetapkan Presiden, Apa yang Harus Dibenahi? | ['konflik' 'lahan' 'perusahaan' 'sampah' 'sawit'] | [0.4948588013648987, 0.4965273141860962, 0.008613888174295425] |
Apakah Pembangunan Poros Maritim Sudah Sukses? | Adapun, total kawasan di bawah kontrol dan penguasaan BOP tersebar di 6 kabupaten, di Nusa Tenggara Timur, yaitu Manggarai Barat, Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, dan Flores Timur. Dalam catatan KIARA, kawasan Pariwisata di bawah kontrol dan penguasaan BOP tak hanya terletak di kawasan daratan, tetapi juga masuk di kawasan pesisir.“Hal ini akan berdampak kepada kehidupan masyarakat pesisir di enam kabupaten yang dijadikan kawasan BOP Labuan Bajo Flores,” jelasnya.Menurut Parid, pembentukan BOP Labuan Bajo Flores merupakan cara baru perampasan ruang hidup masyarakat pesisir, khususnya di NTT. Kesimpulan itu muncul, karena di dalam Perpres 32/ 2018, Pasal 23 ayat 1 poin c, disebutkan bahwa BOP Kawasan Labuan Bajo Flores memiliki wewenang untuk menyewakan dan atau mengadakan kerja sama penggunaan, pemanfaatan, dan pengelolaan tanah dengan pihak ketiga, serta menerima uang pembayaran sewa dan atau uang keuntungan hasil usaha kerja sama.baca juga : Marta Muslin: Turisme Labuan Bajo Harus Buat Warga Lokal Sejahtera Sementara, Direktur Eksekutif WALHI NTT Umbu Wulang Tana Amahu Paranggi menuturkan, akibat proyek BOP yang sudah digulirkan dan diperkuat dengan Perpres, tak sedikit masyarakat pesisir yang tak bisa lagi mengakses laut untuk menangkap ikan. Hal itu terjadi, karena masyarakat sudah dilarang memasuki BOP Labuan Bajo Flores yang menjadi kawasan pariwisata.“Setidaknya ada 1.719 nelayan yang tinggal di kawasan Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo yang terancam ruang hidupnya,” ungkapnya.Paranggi menyebutkan, akibat proyek pariwisata di NTT, seorang warga di Kabupaten Sumba Barat bernama Poro Duka harus meregang nyawa. Dia menjadi korban dari proyek yang didesain bukan untuk membangun kehidupan masyarakat pesisi. Akan tetapi, proyek seperti itu disediakan untuk memberi kemudahan para investor dalam mencari rupiah. | ['Aparatur Sipil Negara' 'budidaya' 'kebijakan' 'lahan' 'pendanaan'
'penelitian' 'pertanian' 'perusahaan' 'politik' 'sawit'] | [0.007555732037872076, 0.46857914328575134, 0.5238651633262634] |
Apakah Pembangunan Poros Maritim Sudah Sukses? | Dari data KIARA, diketahui jumlah masyarakat pesisir di enam kabupaten sangat banyak. Di Kabupaten Manggarai Barat, jumlahnya mencapai 1.026 rumah tangga Perikanan (RTP), Kabupaten Manggarai sebanyak 841 RTP, Kabupaten Ngada sebanyak 917 RTP, Kabupaten Ende sebanyak 2.010 RTP, Kabupaten Sikka sebanyak 1.493 RTP, dan Kabupaten Flores Timur sebanyak 3.047 RTP.“Total rumah tangga nelayan yang akan terdampak proyek pariwisata ini sebanyak 9.334 keluarga,” tegas dia.Tak hanya soal pembangunan fisik, Paranggi kemudian mengkritik pendanaan proyek-proyek seperti itu. Khusus untuk proyek BOP seperti di Labuan Bajo Flores, pendanaan terpaksa dilakukan dengan cara berhutang kepada lembaga-lembaga donor internasional seperti Bank Dunia.“Setelah Proyek KSPN Danau Toba, KSPN Borobudur, dan KSPN Mandalika, kini Proyek KSPN Labuan Bajo Flores akan didanai oleh utang dari World Bank. Pemerintah harus segera menghentikan proyek ini demi keberlanjutan kehidupan masyarakat pesisir yang lebih berdaulat di atas tanahnya sendiri,” pungkasnya. [SEP] | ['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'budidaya'
'iklim/cuaca' 'nelayan' 'politik' 'trivia'] | [4.426556643011281e-06, 7.228185495478101e-06, 0.9999883770942688] |
Penelitian: Populasi Kera Hitam Sulawesi Stabil Satu Dekade Terakhir | [CLS] Sejak era 1970an populasi kera hitam Sulawesi (Macaca nigra) yang terancam punah semakin menyusut jumlahnya. Namun sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh University of Washington di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah kera hitam ini, kini semakin stabil dalam satu dekade terakhir. Temuan ini dimuat dalam edisi Januari jurnal American Journal of Primatology.“Limabelas tahun silam populasi kera hitam Sulawesi ini nampaknya akan terus mengalami penyusutan populasi dan akan musnah,” ungkap Randal Kyes, penulis utama dari University of Washington. Namun bukan berarti bahwa semuanya kini sudah beres dan kita tidak perlu lagi khawatir tentang keberlangsungan satwa ini, tetapi bagaimanapun, kondisi saat ini merupakan sebuah berita bagus dibanding kondisi selama 30 tahun sebelumnya di cagar alam.”Sejak tahun 1997, Kyes dan mitra peneliti dari Indonesia telah melakukan sebuah studi tentang kera hitam ini di Cagar Alam Tangkoko di Sulawesi Utara. Penelitian ini berlangsung sejak tahun 1999, dan proses pengumpulan data dilakukan hingga tahun 2011 silam.Dari hasil penelitian ini mereka menyimpulkan bahwa tingkat kepadatan kelompok kera hitam telah meningkat dari 3,6 kelompok per kilometer persegi di tahun 1999 menjadi 3,9 kelompok di tahun 2005 dan menjadi 4,3 kelompok di tahun 2011. Mereka juga menemukan adanya peningkatan secara bertahap dalam jumlah individu per kilometer persegi, yaitu sekitar 32,4 ekor di tahun 1999, menjadi 53,8 kilometer persegi di tahun 2005 dan meningkat lagi menjadi 61,5 ekor di tahun 2011.Dari hasil perhitungan ini, jumlah populasi kera hitam kini kembali ke nyaris 20 tahun silam, dimana di tahun 1994 dilaporkan bahwa jumlah kelompok per kilometer persegi adalah 3,9 kelompok dan jumlah individu mencapai 68,7 ekor. Sementara, penelitian di tahun 1978 menunjukkan bahwa kondisi populasi kera hitam di masa itu adalah 10 grup per kilometer persegi dengan jumlah populasi 300 ekor. | ['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'budidaya' 'konflik'
'nelayan' 'penelitian' 'trivia'] | [0.00025693021598272026, 0.00035799675970338285, 0.9993850588798523] |
Penelitian: Populasi Kera Hitam Sulawesi Stabil Satu Dekade Terakhir | “Kami menemukan bahwa penurunan jumlah populasi kera hitam kini melambat,” ungkap Kyes. “Kira-kira sekitar 10 tahun silam hal ini mulai berubah. Kami melihat kondisi populasi mulai menuju ke keadaan yang seimbang, namun tanpa adanya kerja keras dari masyarakat lokal dan lembaga pelestarian internasional yang bekerja keras di kawasan cagar alam ini, maka kera ini bisa kembali terancam punah.”Perburuan dan hilangnya habitat menjadi penyebab utama musnahnya populasi kera hitam di beberapa dekade sebelumnya. Seperti kita ketahui, masyarakat di MInahasa memiliki budaya untuk mengonsumsi berbagai jenis satwa, hal ini pun terjadi dengan kera hitam yang seringkali menjadi menu istimewa di meja makan. Kendati para peneliti tidak mempelajari hal ini terlalu dalam di penelitian ini, para peneliti memberikan arahan kepada anak-anak yang tinggal di sekitar Cagar Alam Tangkoko untuk tidak melakukan perburuan dan menjebak satwa. Selain penelitian, para ahli juga memberikan kursus lapangan kepada para mahasiswa dan warga sekitar tentang biologi konservasi dan ilmu kesehatan.Mereka menyatakan bahwa upaya ini sungguh membantu. Mereka tidak melarang secara langsung untuk tidak memakan kera, namun mereka mengingatkan bahwa tidak akan banyak kera hitam yang akan tersisa di masa depan. Para ahli juga mengajarkan anak-anak ini agar meminta orang tua mereka mengonsumsi makanan lain selain kera dan satwa dilindungi lainnya.Penelitian yang didanai oleh Woodland Park Zoo di Seattle Amerika Serikat ini juga melibatkan peneliti Indonesia seperti Entang Iskandar dari Pusat Penelitian Primata Institut Pertanian Bogor, dan Jane Onibala, Umar Paputungan serta Sylvia Laatung dari UNiversitas Sam Ratulangi, Manado, ada juga Falk Huettmann dari University of Alaska-Fairbanks. | ['budidaya' 'kebijakan' 'nelayan' 'politik' 'trivia'] | [0.00025693021598272026, 0.00035799675970338285, 0.9993850588798523] |
Penelitian: Populasi Kera Hitam Sulawesi Stabil Satu Dekade Terakhir | CITATION: Randall C. Kyes, Entang Iskandar, Jane Onibala, Umar Paputungan, Sylvia Laatung, Falk Huettmann. Long-Term Population Survey of the Sulawesi Black Macaques (Macaca nigra) at Tangkoko Nature Reserve, North Sulawesi, Indonesia. American Journal of Primatology, 2013; 75 (1): 88 DOI: 10.1002/ajp.22088 [SEP] | ['budidaya' 'lahan' 'mangrove' 'perdagangan' 'perusahaan' 'politik'] | [4.426556643011281e-06, 7.228185495478101e-06, 0.9999883770942688] |
Kerja Sama Internasional Ancam Kehidupan Nelayan Tradisional? | [CLS] Masa depan sektor perikanan tangkap dikhawatirkan akan terpuruk jika tidak dilakukan koreksi dan penanganan yang benar dari sekarang. Kekhawatiran itu muncul, karena Indonesia saat ini terlibat dalam kerja sama ekonomi dan perdagangan di kawasan ASEAN dengan enam negara mitra ekonomi dan juga tiga negara Asia Timur, yaitu Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan.Kerja sama yang melibatkan sembilan negara tersebut, menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, dikenal dengan nama Regional Comprehensive Economie Partnership (RCEP) dan pada akhir Februari lalu baru saja melangsungkan perundingan di Nusa Dua, Bali, Indonesia.Susan menjelaskan, sebagai wadah kerja sama ekonomi dan perdagangan, RCEP diarahkan untuk menjadi pasar perdagangan bebas terbesar di dunia. Untuk itu, dalam setiap perundingan yang dilaksanakan, isu yang diangkat tidak hanya mencakup perdagangan barang dan jasa saja. Melainkan juga, perlindungan investasi dan mekanisme penyelesaian sengketa.“Dan juga tentang e-commerce, government procurement, serta perlindungan hak kekayaan intelektual,” tutur dia, di Jakarta, akhir pekan lalu.baca : Sudah Tepatkah Kebijakan Pemerintah di Sektor Kelautan dan Perikanan? Di antara bahasan-bahasan tersebut, Susan menyebutkan, RCEP menginisiasi negara-negara yang terlibat kerja sama untuk melaksanakan liberalisasi jasa perikanan tangkap. Melalui kerja sama tersebut, negara-negara yang terlibat akan bisa melakukan penangkapan ikan di perairan negara-negara tersebut. Termasuk, perairan Indonesia yang akan menjadi wilayah tangkapan ikan bagi sembilan negara tersebut. | ['Aparatur Sipil Negara' 'kebijakan' 'konflik' 'perdagangan' 'perusahaan'
'politik'] | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
Kerja Sama Internasional Ancam Kehidupan Nelayan Tradisional? | Menurut Susan, kerangka kerja sama yang dibuat dalam RCEP tersebut jelas akan berdampak buruk pada sektor perikanan tangkap nasional dan sekaligus wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan adanya kebebasan menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia, itu akan mengancam keberlangsungan hidup jutaan nelayan tradisional yang selama ini menggantungkan hidup mereka pada sumber daya perikanan.“Nelayan tradisional harus bersaing dengan kapal-kapal besar penangkap ikan negara-negara RCEP. Selain itu, kebijakan tersebut akan berdampak pada eksploitasi sumber daya alam perikanan Indonesia,” katanya.Dengan kata lain, Susan melihat bahwa perundingan RCEP yang sudah dilaksanakan tidak akan memberikan dampak yang baik bagi kehidupan delapan juta nelayan tradisional di Indonesia. Di sisi lain, perundingan itu, justru menjadi ancaman sangat serius bagi kedaulatan Negara dan juga masyarakat pesisir dan Indonesia. Ancaman InvestasiDengan melaksanakan liberalisasi jasa perikanan tangkap, Susan menyebut bahwa jalan investor untuk menancapkan bisnisnya di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya di sektor pariwisata bahari akan semakin mudah. Terlebih, saat ini Pemerintah Indonesia sedang giat mendorong investasi di bidang pariwisata yang dibalut dalam nama Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang tersebar di 10 lokasi.“Dari 10 lokasi tersebut, tujuh kawasan itu berada pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Mereka adalah Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kuta Mandalika, Labuan Bajo, Morotai, Wakatobi, dan Kepulauan Seribu,” paparnya.Susan menambahkan, kuatnya dorongan Pemerintah Indonesia dalam menggenjot investasi pada sektor pariwisata, karena Negara sangat berharap sektor tersebut bisa menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional di masa mendatang. Untuk 2019 saja, Pemerintah menargetkan pemasukan devisa dari sektor pariwisata hingga mencapai Rp280 triliun. | ['mangrove' 'pendanaan' 'perdagangan' 'politik'] | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
Kerja Sama Internasional Ancam Kehidupan Nelayan Tradisional? | baca juga : Jepang Bisa Lemahkan Indonesia di Pasar Perikanan Global? Upaya keras yang sedang dilakukan Pemerintah itu, bagi Susan semakin menegaskan bahwa Negara tidak memperlihatkan keberpihakan kepada masyarakat pesisir. Hal itu terbukti, karena dari KSPN, ruang hidup masyarakat pesisir sudah dirampas. Dia kemudian mencontohkan, masyarakat yang tinggal di Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, menghadapi kenyataan sedang mendapat ancaman kriminalisasi karena KSPN.“Ada 312 kepala keluarga yang berkonflik dengan sebuah perusahaan pariwisata dan terancam dikriminalisasi,” tuturnya.Selain di pesisir dan pulau-pulau kecil wilayah DKI Jakarta, Susan menambahkan, ancaman serupa juga kini dirasakan masyarakat yang tinggal di kawasan Mandalika, Nusa Tenggara Barat. Di sana, lebih dari 300 KK terusir dari kawasan pesisir dan kehilangan wilayah tangkapan tradisional mereka saat bekerja sebagai nelayan skala kecil.Melalui RCEP, Susan menegaskan, investasi pariwisata semakin diperkuat dan untuk kepentingan itu Pemerintah akan banyak melakukan deregulasi menyesuaikan dengan kepentingan investasi. Dengan kata lain, sampai kapanpun masyarakat pesisir tetap akan menjadi korban. Untuk itu, atas nama KIARA, dia meminta Pemerintah untuk tidak melanjutkan perundingan RCEP karena tidak akan memberikan apa-apa bagi masyarakat pesisir di Indonesia.“Perundingan RCEP karena tak memiliki dampak baik bagi kehidupan masyarakat pesisir,” pungkasnya.Sebelumnya, kritikan juga dikampanyekan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada Januari lalu. Saat itu, KNTI mengkritik kebijakan Pemerintah Indonesia tentang kebijakan jalinan kerja sama dengan Norwegia untuk bidang perdagangan pada sektor kelautan dan perikanan. Kerja sama yang ditandatangani resmi oleh kedua negara pada Minggu (16/12/2018) itu, menjadi ancaman serius bagi nelayan tradisional di Indonesia. | ['Aparatur Sipil Negara' 'pendanaan' 'perdagangan' 'perusahaan' 'politik'] | [0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06] |
Kerja Sama Internasional Ancam Kehidupan Nelayan Tradisional? | Ketua DPP KNTI Marthin Hadiwinata menyatakan, dengan kerja sama tersebut, Norwegia bisa mengekspor produk kelautan dan perikanan mulai 2019 hingga mencapai lebih dari 80 persen. Tak hanya itu, dari kerja sama tersebut, Norwegia bebas mengekspor produknya dengan tanpa dikenakan biaya bea masuk.baca : Nelayan Indonesia Terancam Semakin Terpuruk karena Norwegia? Kehidupan NelayanMarthin menjelaskan, dengan memberikan kebebasan biaya bea masuk, itu sama saja dengan membiarkan nelayan akan terpuruk karena produknya tidak bisa bersaing dengan produk dari Norwegia. Kondisi itu, tidak boleh dibiarkan, karena akan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia yang ada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.Tentang perjanjian tersebut, Marthin menerangkan bahwa itu bisa terjadi berkat forum European Free trade association (EFTA) yang di dalamnya terdapat Norwegia sebagai salah satu anggota. Lewat forum tersebut, negosiasi untuk membebaskan biaya bea masuk ke Indonesia, telah diperjuangkan oleh Norwegia sejak delapan tahun lalu.“Negosiasi di antara kedua negara tersebut dilakukan secara tertutup tanpa partisipasi dari masyarakat sipil, ataupun organisasi nelayan di Indonesia,” ucapnya.Secara khusus, perjanjian yang terjalin antara EFTA dengan Indonesia, menjadi sarana untuk menjaga keberlangsungan perdagangan bebas di sektor perdagangan, khususnya untuk perikanan. Perjanjian tersebut, menguntungkan bagi Norwegia, tapi di sisi lain justru itu memberi kerugian bagi Indonesia. Kondisi itu, akan semakin terasa jika perjanjian dagang untuk 2019 sudah berjalan. | ['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'pendanaan'
'perusahaan' 'politik'] | [0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06] |
Kerja Sama Internasional Ancam Kehidupan Nelayan Tradisional? | Mengenai keuntungan yang diraih Norwegia melalui perjanjian dagang tersebut, menurut Marthin, tidak lain karena negara tersebut bisa mengamankan kepentingan posisi ekonomi mereka dalam perdagangan internasional. Kondisi itu, secara langsung akan menguntungkan perusahaan-perusahaan perikanan laut yang selama ini biasa mengekspor ke Indonesia ataupun negara lain.“Perjanjian perdagangan ini hanya akan meningkatkan dan membuka pasar ekspor untuk perusahaan Norwegia. Sementara perjanjian itu akan menjadikan hal sebaliknya bagi situasi perikanan Indonesia,” tandasnya. Koordinator Riset dan Advokasi Indonesia for Global Justice Rahmat Maulana, membeberkan fakta bahwa perjanjian yang telah dijalin antara EFTA dengan Indonesia hanya akan menyebabkan Indonesia dibanjiri ikan impor dari Norwegia. Kondisi itu, pada akhirnya akan menyebabkan 2,7 juta jiwa nelayan akan terancam keberlangsungan kehidupannya karena produk yang mereka hasilkan tidak bisa lagi bersaing.“Nelayan yang menggantungkan kehidupan pada laut, akan semakin terpuruk di tengah ketidakpastian usaha perikanan,” tuturnya.Menurut Rahmat, ancaman yang kini sedang mengintai profesi nelayan, khususnya nelayan skala kecil itu, bertentangan dengan Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Pada Pasal 12 UU tersebut, disebutkan bahwa Negara wajib melakukan pengendalian terhadap impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman.Selain poin di atas, Rahmat menyebutkan, dalam UU No.18/2012 tentang Pangan juga ditegaskan bahwa impor pangan hanya boleh dilakukan apabila produksi pangan di dalam negeri sudah tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Penegasan dari UU tersebut, menjelaskan bahwa impor pangan tidak bisa sembarangan dilakukan. [SEP] | ['perusahaan' 'politik'] | [0.9999998211860657, 7.110257627118699e-08, 6.867904289720173e-08] |
Tekad Petani Mandiri di Lampung, Kelola Sawit Berkelanjutan | [CLS] Sumaji Pandu Alam (57) menatap bibit sawit di halaman rumahnya, untuk replanting tahun depan. Ini jenis bibit marihat yang ditanam dengan jarak 9×9 meter. Tajuknya lebih kecil dibanding sawit umumnya yang bisa mencapai 7-8 meter.Sumaji merupakan petani sawit mandiri dan sudah bermitra dengan perusahaan sawit di Tulang Bawang, Lampung. Mengenai konsep plasma, dia menerima pendapataan tiap akhir bulan, dari koperasi dan perusahaan.Melalui skema Kebun Plasma KUD Krida Sejahtera bersama perusahaan, harga tandan buah segar (TBS) terbilang tinggi. Berbeda dengan hasil sawit swadaya yang harganya lebih murah. Alasannya, rendamen minyak lebih sedikit hingga perawatan yang belum maksimal.“Bedanya Rp300-400 per kg TBS,” kata Sumaji, di Desa Krida Sejahtera, Kecamatan Penawar Tama, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, Senin (24 Oktober 2022).Sejak bekerja sama dengan plasma PT. Sumber Indah Perkasa (PT. SIP) tahun 1994, dia mendapatkan hasil normal pada 2004.Sumaji tidak tahu persis sistem Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Baginya, pemasukan ke rekening tiap bulan, itu saja.Sumaji yang merupakan tokoh desa, menjelaskan ada 36 kampung di Tulang Bawang dan Mesuji bermitra plasma dengan perusahaan. Luasnya mencapai 17.000 hektar.“Kami menguasakan dana itu ke koperasi unit desa. Infonya sekarang belum cair, untuk penebangan, beli bibit, dan penanaman. Untuk harga sawit swadaya, pernah Mei 2022, dapat Rp300 per kg kemudian naik lagi menjadi Rp1.200 per kg.” Bagi mitra atau plasma perusahaan, dalam lima tahun pertama saat replanting, petani tidak boleh menananam secara tumpang sari. Biasanya, petani bisa menanam jagung atau singkong di antara sawit di tiga tahun awal.Tapi sekarang saat plasma, petani bisa mengakali dengan merawat hewan ternak di sekitar sawit. | ['energi' 'penelitian'] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
Tekad Petani Mandiri di Lampung, Kelola Sawit Berkelanjutan | Ini dilakukan Restu Widodo (47), yang mengangon kambing dan sapi di kebun sawit. Dia bersama istrinya menjadi plasma mitra PT. SIP. “Istri lagi mengembala sore ini,” katanya, ditemui di rumahnya, Minggu (23 Oktober 2022) lalu.Handoyo, Koordinator Ketua Kelompok Tani (K3T) Kampung Tri Tunggal Jaya, KUD Krida Sejahtera, menuturkan setelah mendapat sertifikai RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), petani mulai beradaptasi dengan lingkungan sekitar.Petani berhati-hati menggunakan pestisida. Kebun sawit yang berbatasan dengan hutan lindung, yang masih ada satwa liar, ketika sudah RSPO, tidak boleh diburu.“Petani tidak boleh membunuh hama ular menggunakan pestisida kimia. Harus menjaga keanekaragaman hayati, apalagi yang berdekatan hutan Register 45.”Handoyo sedikit tahu ISPO yang diajukan melalui koperasi desa dengan perusahaan. Pada 2020, perusahaan mitra dan koperasi sudah mendapat IPSO yang berlaku hingga 2025. Ihwan Mulyanto, Koordinator Ketua Kelompok Tani Desa Karya Makmur, Kecamatan Penawar Aji, Tulang Bawang, menyebutkan sudah ada aturan dari perusahaan tentang konsep sawit berkelanjutan.“Petani terbantu dengan perawatan jalan, juga tenaga kerja,” katanya.Sudarsono, K3T Desa Panca Tritunggal Jaya, Kecamatan Gedung Aji Lama, Tulang Bawang, Lampung menuturkan, dirinya diminta mengisi kuesioner dari lembaga independen untuk audit ISPO.Dia mendukung ISPO dari plasma sawit. Baginya, ketika petani sawit yang bermitra dengan perusahaan terus berkelanjutan, maka pendapatan petani bisa pula berkelanjutan sehingga membuat petani sejahtera.“Yang jelas, kami sesuai persyaratan. Misal soal lingkungan, tidak pakai herbisida. Tidak membahayakan mikroorganisme,” katanya.“Kalau ekspor lancar, petani juga senang,” tambahnya.Meski sudah mendapat ISPO sejak 2020, dia menilai petani masih belum terlibat dalam penentuan harga TBS di provinsi. | ['Aparatur Sipil Negara' 'budidaya' 'kebijakan' 'nelayan' 'politik'] | [0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06] |
Tekad Petani Mandiri di Lampung, Kelola Sawit Berkelanjutan | Harga TBS di Oktober 2022 tingkat plasma Rp2.146 per kg. Berbeda dengan harga TBS sawit mandiri yang hanya Rp1.450-Rp1.500 per kg.“Petani diuntungkan kalau mitra, harga relaitf terkendali,” tambahnya.Produktivitas Kelapa Sawit di Lampung Tahun 2017-2021 (kg/ha)Sumber: BPS Lampung Harga lebih tinggiKabid Produksi Dinas Perkebunan Lampung, Elya Rusmaini, menuturkan pihaknya mendukung ISPO di Lampung. Petani yang bermitra dengan perusahaan dan memiliki kesepakatan, memiliki nilai TBS lebih tinggi dibanding freelance.“Kalau petani freelance tergantung pasar dan kualitas TBS,” tambahnya.Menurut dia, pihaknya mendorong ISPO bagi perusahaan maupun petani swadaya, namun Dinas Perkebunan tidak memfasilitasi dana pembuatan ISPO tersebut.“Petani swadaya bisa lewat mitra atau koperasi. ISPO ini standarisasi mutu kualitas yang ditetapkan Pemerintah Indonesia sehingga (CPO) diakui dunia,” katanya.Menurutnya, ISPO tak lain sebagai standarisasi mutu, yang memiliki banyak indikator, misalnya minimalkan penggunaan pestisida.Saat ini, pupuk subsidi hanya untuk sektor perkebunan kopi, tebu, dan kakao. Sementara petani sawit tidak mendapat pupuk subsidi. Tentunya, hal ini bepengaruh terhadap pendapatan.“Efeknya ke petani, pupuk subsidi lebih murah. Tergantung ketersediaan dan dari petani. Sesuai harga jual juga,” tambahnya.Menurutnya, Pemda Lampung akan menyiapkan rencana aksi daerah (RAD) sawit berkelanjutan tahun 2023. Ronald E Butar-Butar, Leader ISPO Sucofindo menuturkan, Succofindo sebagai satu dari lembaga independen auditor membantu dalam hal ISPO sawit di Indonesia.Berdasarkan peraturan perusahaan dan pabrik pengolahan sawit, wajib ISPO sampai 2025 mendatang. Untuk itu, pihaknya menyiakan SDM auditor sawit.Auditor bertugas mengaudit perusahaan sawit, petani sekitar perusahaan, dinas perkebunan, lingkungan hidup, dana elemen, dan lainnya. | ['budidaya' 'kebijakan' 'nelayan' 'politik'] | [0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623] |
Tekad Petani Mandiri di Lampung, Kelola Sawit Berkelanjutan | “Mandatory (ISPO) bagi perusahan, pabrik kebun,” katanya, Kamis (3 November 2022).Selanjutnya, petani sawit swadaya tidak diwajibkan, namun diperbolehkan untuk mengajukan ISPO.Dalam penyelenggaran audit ISPO, pihaknya menggandeng dinas perkebunan dan dinas lingkungan hidup, lalu menanyakan legalitas lahan, keamanan kerja, best practice, dan sebagainya.Menurutnya, jika hal itu dipenuhi perusahaan, maka perusahaan bisa mendapat ISPO. Bagi yang tidak memenuhi, ada sanksi mulai administratif sampai penurunan kelola kebun sawit tipe, 4, 3, 2, 1 serta penutupan. Anggota DPRD Lampung, Syahlan Syukur menilai, tata kelola yang wajar, yang baik perlu dikaji ulang petani.“Misal, hasil panen belum berpihak pada petani, harga fluktuatif tajam, kadang tinggi dan rendah. Saat harga tinggi oke bagi petani, kalau turun tentu merugikan,” ujarnya.Dia menilai, pemeritah kabupaten perlu membuat regulasi untuk stabilisasi harga.“Perlu tata kelola yang baik. Keberpihakan belum maksimal pada petani. Misal, sawit masih bergantung penuh stakeholder, perusahaan besar,” tambahnya.Selanjutnya, saat produksi di Lampung turun sementara pemerintah pusat menyiapkan bantuan biaya untuk replanting, diharapkan petani sawit bisa menjangkau bantuan tersebut.“Kalau petani mau mengeluarkan biaya untuk replanting dengan harga seperti ini sepertinya sulit. Hasil penjualan komoditi ini tidak semua dipakai untuk hidup, sebagian untuk keberlanjutan sawit, seperti perawatan dan sebagainya,” tambahnya. Data Perusahaan Sawit ISPO di LampungData Perusahaan Sawit sedang proses ISPO di LampungSumber: Dinas Perkebunan Propinsi Lampung Jangan sampai ISPO disalahgunakan | ['budidaya' 'kebijakan' 'nelayan' 'politik'] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
Tekad Petani Mandiri di Lampung, Kelola Sawit Berkelanjutan | Meski banyak praktik dari usaha sawit yang mendapat ISPO, Irfan Trimursi Direktur Walhi Lampung menyampaikan, ISPO jangan sampai disalahgunakan. Misalnya, ada perusahaan yang gagal mendapat ISPO, namun hasil CPO ditebengkan ke perusahaan yang sudah mendapat ISPO. Hal ini jelas melanggar sawit konsep berkelanjutan.“Jangan ada pencucian crude palm oil (CPO),” tambah Ifran.Selain ISPO, ada pula No Deforestation, No Peat And No Explotation (NDPE). Produk sawit bukan berasal dari wilayah konversi hutan, bukan dari wilayah eksploitasi ekosistem gambut, dan tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).Irfan menilai, pelanggaran HAM dalam perspektif luas adalah semisal tidak merampas lahan, tidak mencemari lingkungan, tenaga kerja sawit bukan dari ibu menyusui dan anak, dan sebagainya.“Kalau sawit ini secara ekonomi, 1-2 ha kecil sekali. Bisa makan saja syukur,” tambahnya.Walhi mencatat, total hak guna usaha (HGU) untuk sawit di Lampung mencapai 60 ribu hektar. Sumaji Pandu Alam, Ihwan Mulyanto, Sudarsono, dan Restu Widodo menjadi petani yang menikmati sedikit keuntungan dari HGU sawit. Mereka berharap sawit bisa menghidupi kebutuhan hidup keluarga hingga sejahtera. Jual beli kapling sawitTidak semua petani bisa mempertahankan kaplingan sawit plasma.Restu Widodo, menuturkan ada saja petani yang menjual kapling sawit dengan berbagai alasan seperti kebutuhan sekolah anak, kebutuhan hidup saat harga sawit rendah, sampai pada kebutuhan untuk anak mendapat pekerjaan.“Uangnya harus siap dulu, kalau mau ada yang jual bisa langsung dibeli,” katanya.Sistem jual beli kaplingan dengan memberikan nota perjanjian plasma dari petani dan perusahaan, kepada pembeli berikutnya. Dokumen itu sudah dinyatakan sah. Sementara, nomor rekening pembeli baru akan dicatat pihak koperasi. | ['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'konflik' 'korupsi'
'pendanaan' 'perusahaan' 'sawit'] | [0.9999907612800598, 4.496447218116373e-06, 4.684098712459672e-06] |
Tekad Petani Mandiri di Lampung, Kelola Sawit Berkelanjutan | Fuad Abdulgani, Akademisi Universitas Lampung, menyampaikan 20 persen dari HGU perkebunan sawit harus dinikmati warga sekitar. Salah satunya, dengan menjadi plasma atau mitra perusahaan. Data Perkembangan Harga TBS di Lampung Tahun 2022 (Rupiah)(TBS umur tanaman 10-20 Tahun)Sumber : Dinas Perkebunan Lampung Dia mengingatkan, berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No.26/Permentan/OT.140/2/2007 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, dijelaskan bahwa setiap usaha budidaya tanaman perkebunan yang luasnya 25 ha atau lebih dan memiliki unit pengolahan hasil perkebunan, wajib memiliki izin usaha perkebunan (IUP). Ditegaskan pula, ada kewajiban perusahaan besar swasta (PBS) untuk membangun kebun kemitraan pola plasma masyarakat, minimal 20 persen dari luas lahannya.Menurutnya, prinsip keadilan harus ada di kebun kemitraan pola plasma. Artinya, warga sekitar perusahaan yang harus menikmati hadirnya perusahaan sawit. Jangan sampai kaplingan sawit banyak dijual, sehingga kepemilikannya beralih ke orang lain yang bukan warga sekitar perusahaan sawit. Atau, ada warga sekitar plasma yang membeli banyak kaplingan sawit, sehingga terjadi ketimpangan sosial.Menurut Fuad, aturan dari pemerintah maupun stakeholder sudah baik, apakah itu ISPO maupun NDPE.“Implementasi di lapangan harus bagus,” pungkasnya. * Dian Wahyu Kusuma, jurnalis Lampung Post.Liputan ini merupakan program Journalist Fellowship yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak. [SEP] | ['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa'
'konflik' 'pendanaan' 'perusahaan' 'sawit'] | [0.000254815851803869, 0.01976369507610798, 0.979981541633606] |
Menepis Ancaman Kepunahan Ikan Air Tawar di Sumatera | [CLS] Pengelolaan kawasan konservasi perairan darat menjadi salah satu fokus yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia saat ini. Upaya tersebut berjalan, karena ada banyak sumber daya ikan (SDI) asli ekosistem tersebut yang harus diselamatkan segera.Salah satu yang menjadi target penyelamatan, adalah ikan Belida yang habitatnya ada di sungai Musi di pulau Sumatera. Ikan Bernama latin Chitala lopis itu, dikenal menjadi santapan favorit bagi warga yang tinggal di sekitar sungai tersebut sejak lama.Kelezatan ikan tersebut sudah tersohor di kalangan warga lokal yang tinggal di Palembang, umumnya di Sumatera Selatan. Saat diolah menjadi santapan, Belida menjadi bahan populer untuk pembuatan hidangan lokal Pempek.Popularitas Pempek yang terus meroket dan bahkan menyebar ke seluruh Indonesia, membuat hidangan tersebut semakin laris dari waktu ke waktu. Sebagai bagian dari hukum alam, tentu saja permintaan terhadap Belida juga meningkat cepat.Masalahnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendeteksi adanya ancaman kepunahan terhadap ikan tersebut karena eksploitasi yang terus meningkat di sungai Musi. Diperlukan banyak upaya agar tantangan melestarikan Belida dan ikan endemik lainnya di sungai tersebut bisa berjalan baik.Selain Belida, sungai Musi juga menjadi habitat untuk ikan endemik lainnya yang juga populer. Sebut saja, Nilem (Osteochilus vittatus), dan Baung (Mystus nemurus). Keberadaan ikan-ikan endemik di sungai Musi, membuat warga lokal banyak memanfaatkannya untuk dijadikan olahan kuliner.baca : Sudah Lima Tahun, Ikan Belida Tak Kunjung Dapat Selain Sumatera Selatan, Belida juga sangat populer di kalangan warga yang ada di Provinsi Riau, khususnya di sekitar sungai Kampar yang berlokasi di Kabupaten Kampar. Seperti di provinsi tetangganya, Belida juga diolah menjadi kuliner di Kampar. | ['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa' 'korupsi' 'lahan'
'perusahaan' 'politik' 'sawit'] | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
Menepis Ancaman Kepunahan Ikan Air Tawar di Sumatera | Untuk itu, KKP merasa perlu juga melakukan pengelolaan kawasan konservasi perairan darat. Namun, tidak hanya dilakukan sendiri, KKP juga melibatkan pihak lain, seperti masyarakat adat lokal dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).Tetua adat di Kabupaten Kampar atau biasa disebut Ninik Mamak, juga sudah menyatakan komitmennya untuk ikut bersama dalam upaya meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi perairan darat di sungai Kampar. Tujuannya, agar kelestarian Belida bisa terjaga dengan baik.Salah satu bentuk praktik konservasi yang dilaksanakan oleh masyarakat adat di Kampar, adalah Lubuk Larangan. Praktik tersebut menggunakan pendekatan kearifan lokal yang telah ada sejak lama dan bertahan hingga saat ini.Kepala Badan Riset dan Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) KKP I Nyoman Radiarta mengatakan, upaya yang dilakukan masyarakat di Kampar, patut diapresiasi karena sejalan dengan upaya KKP melaksanakan pengelolaan kawasan konservasi perairan darat berkelanjutan.“Itu merupakan salah satu implementasi kerja sama antara KKP dengan FAO melalui Proyek iFish,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.Apa yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat Kampar, semakin memperkuat kerangka pengelolaan keanekaragaman hayati perairan darat melalui kolaborasi dengan para pihak. Cara tersebut diyakini akan bisa membantu upaya pelestarian alam di sepanjang sungai Kampar.Praktik Lubuk Larangan sendiri tidak lain adalah kegiatan menutup bagian dari sungai dan danau selama jangka waktu tertentu dari aktivitas perikanan dan itu merupakan salah satu konsep konservasi yang tumbuh dari kearifan masyarakat setempat.baca juga : Ikan Belida Makin Langka, Mengapa? Kepala Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste Rajendra Aryal mengatakan kalau keberadaan Belida di sungai Kampar, dan umumnya di pulau Sumatera harus bisa menjadi salah satu kekayaan SDI yang bisa dikenal oleh dunia. | ['Aparatur Sipil Negara' 'masyarakat desa' 'konflik' 'korupsi'
'perusahaan' 'sawit'] | [0.9994334578514099, 0.0002822732785716653, 0.0002842268440872431] |
Menepis Ancaman Kepunahan Ikan Air Tawar di Sumatera | Ikan tersebut menjadi gambaran penegas bahwa Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman hayati tinggi dan Belida adalah SDI langka di dunia saat ini. Jika dikelola dan dilakukan konservasi dengan cara yang tepat, ikan tersebut diyakini akan bisa mencuri perhatian publik dunia.Rajendra menyebut, sebagai Presiden kelompok negara dua puluh (G20) yang akan melaksanakan konferensi tingkat tinggi pada akhir 2022 mendatang, Indonesia mendapatkan keuntungan dengan posisi yang strategis.“Itu bisa menjadi ajang untuk mengenalkan konservasi perairan darat pada dunia, salah satunya Ninik Mamak yang telah berkomitmen untuk menjaga Lubuk Larangan untuk generasi mendatang,” tutur dia.Dalam mengelola kawasan konservasi perairan darat di sungai Kampar, KKP bersama FAO menetapkan rekomendasi yang dihasilkan dari diskusi kelompok terpimpin (FGD) sebelumnya. Rinciannya adalah:perlu dibaca : Belida Lopis, Ikan Asli Indonesia yang Dinyatakan Punah Pentingnya melaksanakan konservasi perairan darat diakui sendiri oleh Penjabat (Pj) Bupati Kampar Kamsol. Dia yakin kalau upaya tersebut bisa ikut mewujudkan ketahanan pangan secara nasional, terutama di Riau.Selama ini, masyarakat Riau dan sekitarnya sangat bergantung pada hasil produksi perikanan yang ada di Kampar. Tak kurang dari 75 persen cakupan produksi tingkat provinsi dihasilkan dari daerah tersebut, dengan 60 persen jenis ikan yang diproduksi bernilai ekonomi tinggi.Ikan-ikan tersebut di antaranya adalah Belida, Baung, Emah (Tor), Hara atau Klabau (Osteochilus melanopleuora), Tapah (Wallago), dan Geso (Hemibagrus wyckii). Seluruh ikan tersebut habitatnya ada di air tawar, terutama sungai yang ada di sejumlah daerah di Riau.Kepala Adat Kampar Datuk Yusril mengungkapkan rasa syukurnya karena menjadi bagian dari upaya menjaga keanekaragaman hayati yang ada di Kampar dengan nilai sangat tinggi. Dia berjanji, masyarakat yang dipimpinnya akan senantiasa menjaga SDI yang ada. | ['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'masyarakat desa'
'konflik' 'korupsi' 'perusahaan' 'politik' 'sawit'] | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
Menepis Ancaman Kepunahan Ikan Air Tawar di Sumatera | “Dengan menjaga kearifan lokal yang manfaatnya tak hanya untuk saat ini, tapi juga generasi mendatang,” ucap dia.baca juga : Memetakan Potensi Ikan Asli Indonesia untuk Kegiatan Ekonomi Endemik JambiSelain Belida, upaya melestarikan ikan endemik yang habitatnya ada di air tawar juga dilaksanakan di Provinsi Jambi. Perairan darat yang menjadi habitat tersebut adalah danau Sipin dan sungai Batanghari. Sementara, ikan endemiknya adalah Jelawat (Leptobarbus hoevenii).Direktorat Jenderal Perikanan Budi daya KKP yang mengemban tugas tersebut, melaksanakan konservasi dengan menebar kembali (restocking) benih Jelawat ke dua ekosistem perairan darat tersebut.Khusus di Jambi, popularitas Jelawat memang tidak hanya dikenal karena rasa yang lezat, namun juga bernilai gizi yang tinggi. Itu kenapa, ikan tersebut banyak dicari untuk diolah menjadi beragam bentuk kuliner yang lezat dan sehat.Balai Perikanan Budi daya Air Tawar (BPBAT) Sungai Gelam, Jambi bertugas untuk melaksanakan restocking di danau Sipin dan sungai Batanghari. Upaya tersebut, tak hanya bertujuan untuk melestarikan SDI seperti Jelawat, namun juga bisa mewujudkan ketahanan pangan dari ikan.Kepala BPBAT Sungai Gelam Andy Artha Donny Oktopura menjelaskan bahwa Jambi adalah salah satu daerah yang memiliki keanekaragaman jenis ikan lokal di Indonesia. Namun sangat disayangkan, menurut sejumlah penelitian populasinya kian menurun dari waktu ke waktu.Dengan fakta tersebut, pilihan untuk melestarikan dengan cara restocking akhirnya dilakukan, karena itu bisa membantu menyelamatkan SDI yang beragam di perairan darat Jambi. Selain Jelawat, ikan yang ditebar juga adalah Nilem, masing-masing sebanyak 77 ribu ekor.baca juga : Menyelamatkan Ikan Endemik Asli Indonesia dari Ancaman Kepunahan | ['masyarakat desa' 'kebijakan' 'konflik' 'korupsi' 'sawit'] | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
Menepis Ancaman Kepunahan Ikan Air Tawar di Sumatera | Beberapa waktu yang lalu, Pengajar Departemen Manajemen Sumber daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Sulistiono mengingatkan bahwa populasi ikan endemik akan terus terancam jika permintaan yang tinggi tidak diikuti dengan kegiatan konservasi.Menurut dia, dengan melaksanakan konservasi, maka ikan endemik bisa terus bertahan di perairan darat dan populasinya juga akan terus meningkat. Prinsip konservasi sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.“Dalam UU tersebut diatur tentang konservasi sumber daya ikan yang dilakukan melalui konservasi ekosistem, konservasi jenis dan konservasi genetik,” jelasnya.Selain dalam UU 31/2004, prinsip konservasi sudah dijelaskan dalam peraturan turunan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan. PP tersebut lebih detail mengatur tentang pengelolaan konservasi atau habitat ikan.“Dalam melaksanakan konservasi sumber daya ikan, prosesnya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan,” terang dia.Itu berarti, pelaksanaan konservasi mencakup juga di dalamnya adalah pengembangan kawasan konservasi perairan sebagai bagian dari konservasi ekosistem. Dengan demikian, upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan SDI bisa berjalan seimbang.Selain mengatur tentang konservasi, Sulistiono menyebutkan, di dalam PP disebutkan juga aturan tentang pemanfaatan berkelanjutan dari jenis-jenis ikan serta terpeliharanya keanekaragaman genetik ikan.baca juga : Ikan Air Tawar Endemik Itu Berstatus Terancam Punah Alasan kenapa beberapa jenis ikan perlu diberikan tindakan konservasi, karena ikan-ikan endemik tersebut mengandung nilai ekonomi, nilai sosial, nilai ekologi, nilai budaya, nilai religi, nilai estetika, dan adanya ancaman kepunahan. | ['masyarakat desa' 'konflik' 'lahan' 'sawit'] | [0.999424159526825, 0.00028237837250344455, 0.000293476419756189] |
Menepis Ancaman Kepunahan Ikan Air Tawar di Sumatera | Dia merinci, tujuan dilaksanakan konservasi jenis ikan tertentu, di antaranya adalah: 1) menjaga atau meningkatkan produksi; 2) keseimbangan alam; 3) perbaikan genetika/spesies; 4) menggali manfaat potensial; 5) turisme; 6) pendidikan dan penelitian; 7) estetika; 8) endemik, dan etnik; 9) kesehatan lingkungan; serta 10) kelestarian keanekaragaman.Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Haryono juga pernah mengatakan bahwa penurunan yang terus terjadi pada populasi ikan endemik lokal, bisa terjadi karena hingga saat ini pengawasan terhadap ikan tersebut masih belum seaktif pengawasan ikan yang ada di perairan laut.Menurut pria yang fokus pada penelitiannya adalah tentang ikan di perairan tawar itu, ikan yang tumbuh di air tawar bisa ditemukan di habitat air yang mengalir (lotik) seperti sungai, dan air yang menggenang (lentik) seperti danau, waduk, dan rawa.“Perairan umum daratan air tawar ini terutama ada di pulau Kalimantan dan Sumatera,” ucap dia.Di Indonesia, Haryono menjelaskan, total luas perairan umum daratan mencapai 55 juta hektare. Dengan rincian, luas perairan sungai 11,95 juta ha, perairan danau/waduk 2,1 juta ha, dan perairan rawa 39,4 juta ha.Saat ini, total ada 4.782 spesies ikan asli Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah perairan. Dari jumlah tersebut, ikan air tawar sebanyak 1.248 spesies, ikan laut dengan 3.534 spesies, ikan endemik 130 spesies, introduksi 120 spesies, terancam punah 150 spesies, dan invasif sebanyak 13 spesies. [SEP] | ['Aparatur Sipil Negara' 'masyarakat desa' 'konflik' 'lahan' 'pendanaan'
'perusahaan' 'politik' 'sawit'] | [0.9656471014022827, 0.017137303948402405, 0.017215635627508163] |
Potensi Gempa Itu Ada dan Harus Diantisipasi | [CLS] Peringatan pontensi gempa di Kota Surabaya dengan kekuatan maksimal magnitudo 6,5 yang dikeluarkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR] pada 2017, harus disikapi dengan kewaspadaan. Edukasi dan sosialisasi merupakan langkah antisipasi yang telah dilakukan Pemerintah Kota Surabaya.“Kita sudah sosialisasi ke pelajar dan masyarakat yang terdampak. Bila dua sesar itu aktif, seluruh Surabaya terdampak, sehingga kita perlu ada pencegahan dan pendidikan gempa itu sendiri,” terang Whisnu Sakti Buana, Wakil Wali Kota Surabaya, Kamis [03/10/2019].Pemerintah Kota Surabaya juga melakukan pengecekan kesiapan bangunan, baik rumah biasa maupun gedung bertingkat, memastikan apakah sudah memenuhi persyaratan tahan gempa atau belum.Menurut Whisnu, Pemerintah Kota Surabaya akan menjadikan kajian dan hasil penelitian tim Institut Teknologi Sepuluh Nopember [ITS] Surabaya sebagai bahan evaluasi menyusun Perda Rencana Tata Ruang Wilayah [RTRW] tahun 2022. Perda saat ini belum memasukkan SNI Bangunan Tahan Gempa, meski pada persyaratan untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan [IMB] sudah mengarah pada ketentuan yang disyaratkan.“Sambil evaluasi Perda RTRW, seluruh bangunan di sekitar, yang memang berada di sesar aktif akan dievaluasi IMB berikut standarisasinya,” jelasnya.Baca: Dapatkah Satwa Memprediksi Terjadinya Gempa? Pada seminar “SNI Bangunan Tahan Gempa dan Penelitian Gempa Kota Surabaya” yang digelar Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim [PSKBPI] ITS Surabaya bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR], Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian PUPR, Lukman Hakim mengatakan, Standard Nasional Indonesia [SNI] merupakan syarat mutlak mendirikan sebuah bangunan, terutama mengantisipasi potensi gempa. Bangunan diharapkan tahan dan terhindar kerusakan saat terjadi gempa. | ['masyarakat desa' 'konflik' 'lahan' 'pendanaan' 'politik' 'sawit'] | [0.016374895349144936, 0.019575536251068115, 0.9640495181083679] |
Potensi Gempa Itu Ada dan Harus Diantisipasi | “SNI kita sudah diakui, karena kita memperbaiki kondisi kegempaan maka konstanta satu wilayah berbeda-beda, baik itu mengenai pembagian wilayahnya, A, B, C, dan D. Semua bangunan di wilayah tertentu, harus update dengan SNI baru,” paparnya.Penghitungan mengenai massa bangunan dan percepatan gempa menjadi dasar penentuan kategori bangunan. Perubahan SNI yang memperhatikan hal-hal terperinci terkait daya tahan gempa, harus menjadi standar semua bangunan. SNI Bangunan Tahun Gempa nantinya akan jadi acuan penerbitan izin pemerintah daerah atas bangunan yang akan berdiri di suatu kawasan.“Semua bangunan harus berstandar nasional,” terangnya baru-baru ini.Baca: Banyak Satwa Laut Terdampar, Apakah Terpengaruh Gempa? Dua patahanDua patahan atau sesar aktif yang ada di Surabaya dan Waru dapat menimbulkan gempa sewaktu-waktu. Cara pandang masyarakat terhadap bencana harus diubah, dari responsif atau baru bertindak setelah bencana terjadi, menjadi antisipatif melalui mitigasi bencana.Amien Widodo, geologi dari Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim [PSKBPI] ITS Surabaya, menyebut dua sesar aktif yang berpotensi gempa tersebut tidak perlu membuat takut, namun tetap waspada. Edukasi penguatan bangunan tahan gempa harus diberikan kepada masyarakat, sambil melakukan penilaian bangunan yang telah ada selama ini.“Tinggal menyiapkan rumahnya, tanahnya, dan orangnya. Harus ada assessment terhadap bangunan sekolah, bangunan heritage, dan cagar budaya, karena dipakai banyak orang sehingga harus ada yang menilai. Kita menyarankan, Pemkot Surabaya melakukan penilaian dan memberikan contoh bagaimana cara menguatkan rumah warga,” terang Amien. | ['Aparatur Sipil Negara' 'kebijakan' 'konflik' 'lahan' 'perusahaan'
'sawit'] | [0.016374895349144936, 0.019575536251068115, 0.9640495181083679] |
Potensi Gempa Itu Ada dan Harus Diantisipasi | Pengenalan bencana dan hidup harmoni dengan alam sekitar harus menjadi pedoman masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Kesadaran itu, merupakan salah satu cara meminimalkan risiko, termasuk gempa. Cara-cara menyelamatkan diri dan bertahan hidup menjadi modal menghindarkan jatuhnya banyak korban,” jelasnya.Baca: Surabaya, Wajah Kota Ramah Lingkungan di Indonesia Guru Besar Fakultas Teknik Sipil, ITS Surabaya, Prof. Priyo Suprobo, menyatakan masyarakat harus diberi pemahaman mengenai potensi kekuatan gempa di Surabaya, serta cara menyelamatkan diri. Kondisi bangunan di Surabaya, meski diyakini sudah menerapkan SNI Bangunan Tahan Gempa, tetap perlu diperiksa kondisinya.“Kita harus bersahabat dengan gempa. Surabaya sudah melakukan penelitian yang dilakukan Pak Amien dan teman-teman dalam dua tahun ini. Ini merupakan bagian mengantisipasi gempa,” katanya.Selain itu, dibutuhkan pula peta zonasi gempa di Kota Surabaya. Peta itu nantinya dijadikan pedoman dan petunjuk warga kota untuk evakuasi, menyelamatkan diri ke tempat lebih aman. “Setelah itu, perlu ada kawasan, khusus peta gempa di Surabaya. Langkah berikutnya, kita cek satu persatu bangunan-bangunan yang ada,” tutur Priyo.Jawa Timur pernah diguncang gempa besar yang dirasakan seluruh Jawa pada 1836. Pada 1953, terjadi juga gempa yang dirasakan cukup kuat di wilayah Surabaya dan sekitar. [SEP] | ['konflik' 'lahan' 'perdagangan' 'perusahaan' 'sawit'] | [0.016374895349144936, 0.019575536251068115, 0.9640495181083679] |
Demi Keberlanjutan di Alam, Benih Lobster Fokus untuk Dibudidayakan | [CLS] Pemerintah Indonesia memberi isyarat akan memilih jalan budi daya untuk pemanfaatan benih lobster yang tersedia di alam. Pilihan tersebut diambil, karena pemanfaatan potensi lobster untuk saat ini masih sangat besar di Indonesia. Itu artinya, pemanfaatan akan berfokus pada pembesaran benih lobster menjadi lobster siap jual dengan nilai yang tinggi.Isyarat tersebut diperlihatkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo saat berada di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis (26/12/2019). Menurut dia, jika memang potensi pemanfaatan melalui pembesaran juga bernilai jual tinggi, maka itu menjadi jalan yang bagus untuk mengembangkan potensi lobster di Tanah Air.Menurut Edhy, dengan melakukan pembesaran lobster, maka itu juga akan meningkatkan nilai tambah pendapatan masyarakat pesisir yang selama ini sangat bergantung pada pemanfaatan lobster. Hal itu, terutama dirasakan oleh masyarakat pesisir yang tinggal di kawasan sentra penghasil benih lobster dari alam seperti di Provinsi NTB.“Pembesaran benih lobster akan dorong nilai tambah untuk masyarakat pesisir,” ucapnya.baca : Adakah Cara Lain Pemanfaatan Benih Lobster, Selain Ekspor? Upaya untuk mendorong pemanfaatan benih lobster melalui budi daya, tidak lain karena Edhy melihat kalau perairan di kawasan selatan NTB selama ini menjadi salah satu titik utama di Indonesia yang bisa ditemukan benih lobster dengan jumlah yang melimpah. Kawasan tersebut bersaing ketat dengan perairan selatan Jawa dan barat Sumatera dalam hal produksi benih lobster.Dari banyak kajian yang sudah dilakukan bersama KKP dan lembaga penelitian lain, diperkirakan ada ratusan juta benih lobster per tahun yang bisa ditemukan di titik-titik utama disebut di atas. Kelimpahan produksi tersebut, pada satu waktu akan memicu terjadinya sink population, yakni kondisi dimana populasi benih lobster akan mengalami pengurangan atau lenyap secara tiba-tiba. | ['lahan' 'pendanaan' 'penelitian' 'trivia'] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
Demi Keberlanjutan di Alam, Benih Lobster Fokus untuk Dibudidayakan | Kondisi itu terjadi, saat fase puerulus berlangsung, yakni fase di mana lobster memiliki ciri tubuh menyerupai lobster dewasa namun belum memiliki kerangka luar yang keras. Saat fase tersebut berlangsung, kelulushidupan (survival rates/SR) benih lobster maksimal hanya 0,1 persen saja atau hanya 1 ekor dari total 10.000 ekor benih lobster saja yang berhasil mencapai usia dewasa.Fakta ilmiah tersebut menjadi hasil penelitian bersama KKP melalui Balai Perikanan Budi daya Laut (BPBL) Lombok dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). Dengan itu juga, Pemerintah dipaksa harus bisa memanfaatkan benih lobster dengan baik dan bijak, tanpa menimbulkan polemik yang memicu pro dan kontra di masyarakat.baca juga : Pro dan Kontra Pelegalan Jual Beli Benih Lobster Budi dayaUntuk itu, Edhy menyebut kedatangannya ke Lombok Timur, menjadi upaya untuk mendorong pemanfaatan benih lobster dengan cara dibesarkan melalui sistem budi daya. Khusus di kawasan Teluk Elong sampai Dusun Gilire, benih lobster sudah dilakukan pembesaran secara konvensional sejak 2007 atau 12 tahun lalu.“Sementara di Teluk Ekas, pembesaran benih lobster dilakukan dengan menggunakan teknologi yang lebih modern,” ungkapnya.Menurut Edhy, teknik pembesaran yang dimiliki masyarakat di Lombok Timur, menjadi bukti bahwa Indonesia bisa melakukan upaya pemanfataan benih lobster dengan cara yang bijak dan bernilai jual tinggi. Pemanfaatan menggunakan media teknologi ataupun konvensional, menyerupai pemanfaatan serupa di Vietnam.“Saya takjub, ternyata sudah banyak masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ini. Kita harapkan usaha pembesaran lobster ini mampu memberikan nilai tambah pendapatan bagi masyarakat pesisir,” tuturnya. | ['masyarakat desa' 'konflik' 'pendanaan' 'perusahaan' 'sampah' 'trivia'] | [0.01809711940586567, 0.9629115462303162, 0.01899130828678608] |
Demi Keberlanjutan di Alam, Benih Lobster Fokus untuk Dibudidayakan | Pengembangan budi daya untuk benih lobster, diyakini tak hanya memberikan manfaat secara ekonomi semata saja, namun juga akan memicu peningkatan stok di alam. Caranya, adalah dengan melaksanakan pengaturan kewajiban restocking benih lobster pada fase tertentu.Untuk itu, Edhy berjanji akan segera menyusun peta jalan (roadmap) untuk pengembangan industri lobster nasional dengan melibatkan semua stakeholders terkait. Dalam penyusunan itu, akan dilakukan kajian stok, pengaturan area tangkap lestari, pemetaan ruang untuk budi daya, penyiapan teknologi, investasi, dan yang lain-lain.perlu baca : Sebanyak Rp1,37 Triliun Potensi Kerugian Negara Diselamatkan Dari Penyelundupan Benih Lobster Menurut dia, jika budi daya bisa dikelola dengan bijaksana, maka itu akan menghasilkan nilai tambah yang bagus, bisa mempekerjakan banyak orang, menyejahterakan masyarakat, dan menambah devisa untuk Negara. Kemudian, juga akan meningkatkan pangan berprotein tinggi bagi masyarakat Indonesia dan sekaligus ikut mengatasi persoalan stunting pada generasi muda.Oleh itu, Edhy akan terus melibatkan peneliti, perekayasa, dan pembudi daya ikan kawasan perairan untk bisa berinovasi dan menciptakan keberhasilan pembenihan (breeding) lobster dan membuat indukan yang unggul. Cara itu, diyakini akan membawa perikanan budi daya nasional tidak lagi bergantung pada induk matang telur yang ada di alam.“Namun menggunakan indukan lobster dari hasil breeding yang terprogram,” tegas dia.Dengan tekad yang kuat dan keseriusan yang sangat tinggi, Edhy meyakini kalau Indonesia bisa menjadi negara produsen lobster besar di dunia dan bisa mengalahkan Vietnam yang saat ini sudah mampu membentuk ekosistem pembesaran lobster dengan sangat baik. Itu artinya, Indonesia harus bekerja lebih baik dibandingkan Vietnam, termasuk untuk teknik budi daya lobster yang akan digunakan. Revisi | ['lahan' 'trivia'] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
Demi Keberlanjutan di Alam, Benih Lobster Fokus untuk Dibudidayakan | Di sisi lain, walau Edhy menyatakan Pemerintah akan fokus pada pembesaran benih lobster, pihaknya tetap akan melakukan kajian ulang Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portinus Pelagicus spp.). Peraturan tersebut, dinilai masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.Dalam pembuatannya dulu, Edhy menyebut kalau Permen tersebut bertujuan bagus karena untuk mengendalikan eksploitasi benih lobster dan sekaligus menjaga keberlanjutan stoknya di alam. Tetapi sayangnya, peraturan tersebut mendapat respon beragam, karena dinilai telah menghambat usaha orang-orang yang selama itu menggantungkan hidupnya pada benih lobster.“Oleh karena itu, pemerintah kembali melakukan pengkajian, tidak hanya dengan memperhatikan aspek lingkungan, tetapi juga ekonomi dan sosio-kultural,” sebutnya.baca juga : Benih Lobster Senilai Lebih Rp 5 Milyar Hendak Diselundupkan ke Vietnam Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut kalau Permen KP No.56/2016 sudah tidak relevan untuk diterapkan pada kondisi sekarang. Menurut dia, pasal 7 dalam Permen tersebut yang di dalamnya mengatur larangan penjualan benih lobster untuk budi daya harus segera diubah.Bagi dia, segala aktivitas budi daya produk kelautan dan perikanan, tidak seharusnya dikenakan aturan pelarangan. Hal itu, karena dari setiap aktivitas budi daya perikanan diyakini akan bisa menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi, selama itu dilakukan dengan mengikuti prosedur teknik budi daya.“Jadi, jangan ada pelarangan untuk pembudidayaan. Jadi pembudidayaan itu jangan dilarang lagi,” ucap dia belum lama ini. | ['mangrove' 'trivia'] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
Demi Keberlanjutan di Alam, Benih Lobster Fokus untuk Dibudidayakan | Akan tetapi, walau nanti Permen direvisi, Luhut berjanji kalau Pemerintah Indonesia akan tetap mengontrol dan melakukan pengawasan secara ketat semua aktivitas budi daya benih lobster di seluruh Indonesia. Pengawasan tetap dilakukan, karena Pemerintah tidak mau terjadi penyelewengan untuk budi daya BL seperti aktivitas penyelundupan ke luar negeri.“Iya, tapi diawasi. Itu kan memang Undang-Undang perintahnya begitu,” sebutnya.Di sisi lain, sambutan positif diperlihatkan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan saat mengetahui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan fokus memanfaatkan benih lobster untuk kegiatan budi daya. Menurut dia, KKP mendengar masukan dari banyak pihak tentang rencana ekspor benih lobster yang mengundang pro dan kontra.Seperti dilansir ANTARA, Kamis (26/12/2019), Abdi Suhufan meminta agar Pemerintah bisa mengembangkan kegiatan budi daya lobster dengan lebih baik lagi. Selain itu, Pemerintah juga diharapkan bisa memberikan insentif kepada para pembudi daya lobster melalui bantuan teknis ataupun penempatan petugas perikanan.“Yang memahami teknik budi daya dan bisa memberikan pendampingan kepada kelompok pembudi daya,” tegasnya. [SEP] | ['Aparatur Sipil Negara' 'Lembaga Swadaya Masyarakat' 'lahan'
'perdagangan' 'perusahaan' 'politik' 'trivia'] | [0.00033922979491762817, 0.9992603659629822, 0.0004004047659691423] |
Menyoal Kebun Sawit Plasma di Papua | [CLS] Ada kopi, petai, duku sampai rambutan. Bibit-bibit tanaman buah ini sedang Jerry Enef, siapkan untuk tanam di sisa lahannya. Sebagian besar tanah adat mereka sudah ditanami sawit. Sekitar 1.500 hektar tanah Marga Enef sudah diserahkan ke PT Tandan Sawita Papua (TSP) untuk tanam sawit. Sebagai imbalan dari penyerahan tanah itu, saat ini Marga Enef mendapat kebun plasma sekitar 200 hektar.Jerry, merupakan Ketua Marga Enef. Marga yang biasa disebut Keret Enef ini mendiami Kampung Amyu, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom, Papua.“Kesepakatan kemitraan, kami sebagai pemilik 80 berbanding 20 pembagiannya. Kami dapat 20%, perusahaan 80%,” katanya.Marga Enef menerima hasil kebun plasma sejak 2021. Terakhir mereka menerima September 2022. Dana plasma dibagi pertiga bulan. Dalam setahun, setiap marga menerima empat kali. Dengan luas lahan 200 hektar, Marga Enef menerima sekitar Rp60 juta tiap tiga bulan.Sebagai ketua marga, Jerry membagi untuk semua anggota marga, tua, muda, hingga anak-anak.“Di Marga Enef per individu dibagi. Anak kecil juga dibagi. Yang sudah kawin dapat Rp2 juta, yang belum kawin Rp1 juta. Kalau anak sekolah Rp500.000.”Enef adalah satu dari delapan keret di Distrik Arso Timur dengan tanah ulayat jadi area konsesi TSP. Anak usaha PT Eagle High Plantations Tbk ini mendapat izin usaha perkebunan pada 2009 seluas 26.048 hektar. Dari situ, ada 18.337,90 hektar sudah dikelola. Sekitar 13.000 hektar berhak guna usaha (HGU) dan ditanami sawit.Dua belas tahun lalu, tepatnya 2010, Jerry Enef adalah satu ketua marga yang menerima uang yang disebut sebagai “tali asih” dari perusahaan. Publik di Jayapura kala itu heboh dengan judul berita di harian Bintang Papua “3 Meter persegi Tanah Adat Senilai Sepotong Pisang Goreng.” Berita itu membahas ganti rugi tanah adat milik penduduk Rp384.000 perhektar, atau hanya Rp384 per meter persegi. Mereka membandingkan dengan harga gorengan di Jayapura Rp1.000 per potong. | ['Lembaga Swadaya Masyarakat' 'kebijakan' 'pendanaan' 'trivia'] | [0.0002839576918631792, 0.980250358581543, 0.019465679302811623] |